Akhir-akhir ini ketika saya melihat penjual-penjual barang haram (mungkin hanya distributor dan pemegang lisensi yang berpikir seperti ini) berupa DVD bajakan, jejeran tumpukan drama seri selalu didominasi oleh drama seri Korea Selatan dan beberapa dari Jepang. Banyak teman-teman yang saya kenal membeli dan melihat drama-drama seri dari dua negeri Asia yang pada tahun 2002 berhasil menyelenggarakan perhelatan besar Piala Dunia. Pembeli film ini juga tidak terbatas dari kalangan sosial tertentu. Kalian dapat menemukan kounter-kounter yang menjual film drama Korea dan Jepang mulai dari Tarra Megastore hingga ‘penampungan Glodok’, mulai dari yang asli berbanderol diatas Rp. 25.000 hingga murah meriah seharga Rp. 6.000. Baru-baru ini, seorang bintang Korea datang ke Jakarta untuk menyapa fansnya di Balai Sarbini. Di radio, lagu L’arc~en Ciel di-request oleh banyak pendengarnya. Muncul band-band beraliran J-Rock, dan juga band yang menggunakan nama genre ‘J-Rock’ itu sendiri. Serta jangan dilupakan komik dan kartun Jepang yang ada di rak buku (atau terserak?) kalian. Kata-kata seperti manga atau anime, bahkan hingga hentai banyak yang sudah melekat dalam perbendaharaan kata remaja masa kini.
Sekitar satu tahun yang lalu, pacar saya dan seorang teman mendapat kesempatan untuk pergi ke Jepang dan Korea selama hampir satu bulan penuh. Cerita yang mereka bawa kembali kesini mempunyai satu benang merah, yang menurut saya menjadi kunci sukses negara masing-masing. Penduduk masing-masing negera tersebut bangga dan mau mengenakan kultur mereka sebagai identitas pribadi dan kelompok. Bukan hanya untuk diri mereka sendiri, belakangan dengan semangat pemasaran kultur yang kuat, mereka mengekspansi lifestyle mereka. Sebagai catatan, riset di Korea Selatan mencoba melihat invasi kultur di dunia, kultur barat tetap menempati nomor satu dengan raihan 50%. Tetapi kultur Jepang mengalami kenaikan drastis dalam urusan ‘mengekspor’ kultur mereka, dan menempati posisi kedua dengan capaian 30%,. Sedangkan Korea Selatan, dengan konsep Hallyu-Wood-nya memperoleh 2%.
Kalau kita mau cermati, kebudayaan Jepang dan Korea sebenarnya secara kuantitas ada di bawah Indonesia. Jika dibandingkan, kita punya beragam kultur yang ada hampir di setiap jengkal negara kita. Sebagai contoh, pakaian tradisional Jepang dan Korea hanya satu, yaitu kimono dan hanbok. Pakaian tradisional Indonesia? Banyak sekali! Belum lagi kalau kita mau melihat sisi-sisi kultur lainnya, seperti bahasa, kerajinan, adat-istiadat, hingga musik. Dapat dipastikan kalau Indonesia punya itu semua, melimpah pula!
Di Indonesia, kita memiliki sejumlah produk unggulan, baik yang tradisional maupun kontemporer. Namun nilai keunggulannya masih sangat kecil secara ekonomis, karena belum ada sebuah situasi ideal untuk meningkatkan nilai apresiasinya.
Kembali ke tempe. Dalam hati saya berpikir, kalau tempe bisa populer begitu di luar negeri dan mendapatkan apresiasi yang tinggi sehingga menjadi produk unggulan, masak sih kita tidak bisa melakukan hal yang sama? Kenapa kita tidak melakukan survei di luar negeri untuk mengetahui proses mengapa
Starbucks, produsen kopi dunia, secara berkala menghadirkan serial kopi esklusif Black Apron. Kopi ini biasanya jumlahnya sangat terbatas dan sangat eksklusif. Jumlahnya terbatas dan harganya sangat mahal. Satu bungkus 226 gram dijual rata-rata di atas US$ 12. Satu kilo harganya bisa mencapai US$ 50. Gila! Khusus edisi Juli 2006, Starbucks mengeluarkan edisi Black Apron yang diberi sebutan Kopi Kampung. Kalian bisa tebak asal kopi ini? Tiada lain adalah Indonesia!
Didalam leaflet Kopi Kampung diceritakan dan didongengkan bahwa Starbucks sejak pertama kali beroperasi, 35 tahun lalu, sudah mengagumi kopi dari Sulawesi. Menurut mereka, kopi Toraja, atau kopi
Untuk edisi Black Apron, perusahaan dari Seattle ini akhirnya melakukan sebuah ekspedisi menyusuri satu kampung demi satu kampung untuk menemukan sebuah cita rasa klasik yang masih murni. Starbucks mengaku, banyak kopi Toraja yang kini sudah bercampur aduk dengan berbagai kopi sehingga rasanya tidak lagi asli. Akhirnya ekspedisi mereka sampai ke sebuah kota kecil di Sapan dan Minanga di Sulawesi Utara. Mereka menemukan proses kopi yang ideal. Yaitu, biji-biji kopi yang masak dipetik langsung dari pohon, lalu dipilih kualitasnya, dan dijual di pasar hanya sehari setelah dipanen. Starbucks menganggap proses ini ideal sekali. Karena cita rasa kopi yang dihasilkan secara murni menerjemahkan cita rasa klasik kopi Toraja yang sejati. Akhirnya, kopi inilah yang mereka jadikan kopi limited edition edisi Black Apron dengan nama khusus Kopi Kampung.
Sebagai produk unggulan, konon Indonesia memiliki minimal tiga kopi jawara kelas dunia, dari 10 kopi terbaik di dunia. Ketiga kopi itu adalah Java Mocha, Sumatera Mandheling, dan Toraja Kalosi. Ironis kalau kita berbicara dengan kebanyakan petani kopi di berbagai daerah. Mereka mengeluhkan harga kopi yang rendah dan kompetisi yang mematikan dari Vietnam.
Dengan fakta-fakta ini, mestinya kita bangga dengan potensi produk unggulan Indonesia. Dengan bahasa sederhana, Tuhan Yang Maha Esa sangat pemurah dan baik hati melimpahkan kita kekayaan alam dengan potensi yang sangat luar biasa. Lalu, di mana kurangnya? Saya hanya bisa menemukan satu jawaban. Imajinasi! Kita perlu merangsang pemikiran yang lebih imajinatif. Siapa sangka ada kebudayaan dari timur yang mulai ‘menggerogoti kue’ kultur barat. Dengan mengekspor film drama, kartun, dan komik, kultur Jepang dan Korea disambut dengan ‘meriah’ di Indonesia.
Godfather negeri Perancis, Napoleon Bonaparte, berpesan, "The human race is governed by its imagination." Artinya, nasib kita memang ditentukan oleh imajinasi kita. Nasib bangsa ini juga ditentukan oleh seorang pemimpin yang imajinatif. Seorang pemimpin yang secara imajinatif bisa menciptakan benang merah antara potensi alam yang berlimpah dengan potensi sumber daya manusia negeri ini. Benang merah inilah yang akan menjadi cikal bakal produk unggulan Indonesia yang kita dambakan. Semakin tinggi imajinasi pemimpin kita, semakin jaya pula negeri dan republik ini. Start imaginating!
No comments:
Post a Comment