Wednesday, July 30, 2008

Amazing and Uniquely Indonesia, The Truly Asia

Seorang teman yang baru saja pulang dari liburannya di Australia bertutur mengenai keluh kesah dua keluarga imigran asal Indonesia yang sudah lama menetap sejak tahun 1970an. Melalui sudut pandang media negeri wombat, mereka merasa sangat miris melihat kondisi Indonesia saat ini. Korupsi menggila, bencana alam, terorisme, dan acuan negatif lain adalah berita yang mereka terima tiap hari. Terkesiap diri saya mendengar persepsi itu, seketika pula saya membela diri dengan mengatakan mereka itu tahu apa, wong sudah lama tidak disini kok sok tahu.

Tak butuh waktu lama, saya menyadarkan diri dan mencoba melihat kenyataan. Jika anak Indonesia sendiri sudah berpikir seperti itu, bagaimana dengan penduduk asli The Soccerros? Apa dampaknya terhadap Indonesia?

Alkisah pada tahun 1999 negeri ini masih dikunjungi sekitar 5 juta wisatawan atau sekitar 14% dari total wisatawan di kawasan ASEAN, dimana Thailand mendominasi dengan 26% dibuntuti Malaysia 24% dan Singapura 21%. Tahun 2006 kunjungan wisatawan stagnan jika tidak mau dibilang menurun dengan 4,8 juta atau meyisakan kontribusi dengan 8,6%, tertinggal jauh dengan peningkatan wisatawan Malaysia yang dikun jungi 17,5 juta orang atau sekitar 31%.

Setidaknya persepsi buruk mengenai Indonesia menggerogoti dunia pariwisata seperti terlihat pada data sebelumnya. Dalam dunia pemasaran modern, proses branding (baca: pencitraan) menjadi hal yang sangat diperhatikan untuk pengembangan produk. Sebalnya saya, pemerintah terkesan tidak melakukan kegiatan nation (destination) branding yang serius terhadap bangsa ini. Padahal seseorang yang ingin menjadi presiden atau gubernur saat ini sadar betul mengenai pentingnya branding diri dengan mengeluarkan biaya milyaran rupiah.

Thailand dengan slogan Amazing Thailand, Singapura dengan Uniquely Singapore, dan Malaysia melalui Truly Asia-nya merupakan representasi dari pemasaran modern. Indonesia tetap keukeuh dengan Visit Indonesia Year 2008 yang sama persis dengan slogan pariwisata masa Orde Baru, Anda lupa? Saya ingatkan kembali, Visit Indonesia Year 1991.

Perlu ada pembenahan radikal pada cara pemasaran dan pembuatan citra Indonesia kepada masyarakat luar. Pertama, perlu perubahan pada pembuat kebijakan pariwisata Indonesia. Jangan lagi ada kasus telatnya pencarian slogan pariwisata tahun 2008 yang masih dilakukan pada bulan Februari 2008, dimana akhirnya hanya ditambahkan Celebrating 100 Years Nation Awakening. Saya tidak habis pikir, apakah wisatawan asing peduli dengan Boedi Oetomo? Apakah kita ingin menawarkan wisata Kebangkitan Nasional? Tidak! Jadi, apa relevansinya?

Kedua, perlu pengenalan terhadap kelebihan dan perbedaan Indonesia dengan bangsa lainnya. Harus ada produk berbeda dan punya kualitas yang dijual. Jangan hanya memperlihatkan hamparan sawah dan gunung tanpa makna di iklan wisata, perlu ada penekanan yang lebih dalam. Contoh, pulau Kalimantan yang termasuk kawasan hutan tropis terbesar di dunia sekaligus pulau terbesar di dunia adalah difrensiasi yang tidak dimiliki oleh negara manapun. Biota laut di kawasan Indonesia menyimpan hampir 70% dari seluruh spesies laut di dunia, dimana lagi wisatawan dapat mendapatkan itu semua selain di sekitar selat Sulawesi dan Maluku. Jepang punya Kimono, Indonesia punya batik yang sudah di endorse secara sukarela oleh tokoh internasional sekaliber Nelson Mandela.

Ketiga, segala hal yang besar selalu dimulai dari yang kecil. Tidak perlu pemerintah terburu-buru memaksa membuka rute penerbangan antara Moskow dan Jakarta untuk menjaring wisatawan. Daripada nanti buang-buang uang untuk mengisi seat kosong pesawat demi menjaga gengsi adanya rute tersebut, masih banyak lho potensi turis dari negeri tetangga yang belum terjamah secara maksimal, seperti Malaysia, Singapura, dan Australia. Sudah rahasia umum jika turis Indonesia lumrah ditemui dan saling bertegur sapa saat berbelanja di Orchad Road atau antri naik ke Petronas Tower, negara tetangga bisa mengundang turis lokal kita kesana, kenapa kita tidak. Disilaukan oleh semut diseberang, pesawat Airbus 308 di pelupuk mata kok tidak terlihat.

Keempat, warga negara Indonesia yang berdiaspora dengan menetap atau bekerja di negara asing harus tetap diperhatikan dan diberikan edukasi mengenai pentingnya peran mereka dalam membuat persepsi positif Indonesia di mata warga asing. Gimana mau orang Aussy punya citra positif, kalau warga Indonesia yang disana mikir Indonesia semakin hancur dari hari ke hari. Pencitraan melalui community development adalah cara terkini yang terbukti ampuh dalam pemasaran produk di dunia yang semakin sesak informasi dan ter-clustered.

Terakhir, bagaimanapun masyarakat berusaha pemerintah tetap memegang peran utama untuk mewujudkan brand promise bagi turis asing yang sudah datang kesini. Dengan menggembar-gemborkan Indonesia sebagai negara tujuan wisata, turis harus diberikan servis maksimal dengan standar internasional. Paling tidak nih untuk pembuat kebijakan di atas sana, toilet di Soekarno Hatta dibersihkan dulu ya bos! Tidak mudah memang, tapi bisa. Brand promise terpenuhi, baru kita pede untuk bilang Indonesia, The Real Amazing, Uniquely, and Truly Asia!

Thursday, April 10, 2008

Politik = ‘Tahi Kotok’? Masa?

Di akhir bulan Maret 2008, politkus Belanda bernama Geert Wilders meluncurkan film Fitna yang menuai kontroversi dari beragam pihak. Bagaimanapun reaksi yang muncul, baik positif maupun negatif, telah membantu Geert Wilders menjadi public figure papan atas saat ini. Well, paling tidak dia jadi terkenal bagi para “pejuang” kebebasan. Dicaci di satu sisi, tetapi dianggap sebagai pahlawan di sisi lainnya. Bagi penganut Islam, film Wilders adalah penghinaan bagi agama mereka. Salah satu reaksi masyarakat muslim berdasarkan pandangan politiknya dapat dilihat dari pernyataan mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahatir Muhammad, untuk memboikot produk dari Belanda. Sedangkan pendukung Wilders menunjukkan pandangan politik mereka dengan membuat produk-produk yang memiliki tema sama dengan Fitna. Film animasi Life of Mohammad, direncanakan akan di launching beberapa saat lagi.

Di era 1970-1980-an, gerakan lingkungan dan partai hijau menghantam aneka produsen dan perusahaan yang merusak lingkungan, dan membuat produk dengan sewenang-wenang. Maka timbullah istilah produk ramah lingkungan. Beberapa perusahaan, seperti The Body Shop, dikenal aktif dan progresif mempromosikan produk hijau mereka. Tidak hanya sebagai produk penghibur sesaat, Body Shop telah menjadi merek yang memiliki konsumen setia dan menimbulkan persepsi pecinta lingkungan bagi konsumen mereka.

Di tahun 1990-an muncul pula gerakan baru yang mengancam produsen yang tidak berpolitik dengan benar. Gerakan ini pernah mengancam beberapa produsen yang melakukan diskriminasi harga atau mempekerjakan buruh di bawah umur. Beberapa produsen kini mencantumkan pernyataan di label mereka, bahwa mereka telah mengambil sikap politik dengan benar. Merek Tommy Hillfiger pernah menjadi sasaran konsumen yang memboikot produk setelah ngambek. Hal ini dikarenakan perusahaan memperkejakan anak-anak kecil di Afrika dan Cina.

Di masa mendatang, saya yakin perilaku konsumen yang berdasarkan pandangan politik tidak akan pernah mati. Salah satu fenomena yang berkembang beberapa tahun lalu adalah kisah Mecca Cola. Seorang Tunisia berkebangsaan Prancis bernama Tawfiq Mathlouthi, menciptakan minuman soda tersebut sebagai gerakan politik melawan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Mecca Cola diluncurkan pertama kali justru di Eropa, untuk menarik simpati penduduk Eropa yang ingin ikut menunjukkan pilihan politiknya.

Sebanyak 10% keuntungan dari Mecca Cola disumbangkan kepada perjuangan Palestina. Pada minggu pertama peluncuran, terjual 160.000 botol. Lumayan laris. Tak lama kemudian, perjuangannya mencapai 2 juta botol per bulan. Setelah sukses di Eropa, Mecca Cola baru akan diluncurkan di Timur Tengah.

Kini Mecca Cola juga menyumbang tambahan 10% untuk diberikan kepada LSM di Eropa. Ketika Eropa dilanda protes dan demo antiperang Irak, 36.000 botol Mecca Cola dan 10.000 kaus dibagikan gratis, dengan slogan antiperang. Tawfiq Mathlouthi menganggap pasar Mecca Cola tak terbatas besarnya. Ia mengicar pasar 1,5 milyar penganut muslim di seluruh dunia.

Mecca Cola bukan satu-satunya yang mengincar pasar itu. Masih ada Zam-Zam Cola dari Iran dan ada juga Qibla Cola yang diluncurkan di Inggris. Di Indonesia telah banyak produk bernapaskan Islam, namun belum ada yang mengambil jalur politik seperti Mecca Cola.

Beberapa produsen Cola di Eropa sudah mulai merasa tersaingi. Gerakan konsumen menyeberang ke area politik adalah ancaman yang serius. Setiap produsen harus secara peka mulai memikirkannya.

Suka atau benci, setuju atau menolak, membeli atau tidak, Anda sebagai konsumen selalu berpolitik dalam menentukan pilihan. Konsumen menentukan mereka mendukung atau menolak pendapat Geert Wilders berdasarkan pandangan politiknya.

Maka, alih-alih hanya dipolitisasi, isu film Fitna dapat pula di-‘ekonomisasi’ oleh sineas Indonesia. Saya yakin bahwa film Ayat-Ayat Cinta akan mendapatkan atensi besar jika ditayangkan di tingkat internasional. Film ini menawarkan sesuatu yang berbeda dengan Fitna dengan sisi humanisme dalam Islam. Ditambah lagi film ini berasal dari Indonesia, negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia, yang karena kemoderatannya (baca: Islam abangan), jauh lebih dapat diterima Eropa dibandingkan dengan pandangan dari Palestina, Iran, atau Irak. Jika Ayat-Ayat Cinta dapat di blow-up dengan baik, bukan hal yang tidak mungkin Hanung Bramantyo akan menjadi sepopuler Wilders.

Masih percaya politik hanya onggokan menyebalkan seperti ‘tahi kotok’? Masa? Politik itu emas bung!

Me, Myself, and Brand (edisi pagi)

Anda pernah menghitung merek-merek produk apa saja yang Anda gunakan sejak bangun pagi hingga tidur malam? Hari ini tanpa alasan khusus saya mencoba melakukannya. Tetapi untuk edisi kali ini, saya akan membatasi merek-merek yang berkecimpung di dunia saya saat pagi menuju siang hari (05.45-12.00). Selamat menikmati!

1. Terkantuk-kantuk dalam suasana pagi, sebagai muslim saya melakukan ibadah sholat Subuh. Berwudhu dengan air tanah yang diambil dengan pompa air Sanyo (Jepang). Selesai membasahi beberapa bagian tubuh, saya mengambil sarung Gajah Duduk atau Atlas (keduanya Indonesia) untuk kemudian mengalasi kaki saya dengan sajadah Fatah (Turki).

2. Menurut Ibu saya, baik untuk meminum segelas air putih di pagi hari supaya awet muda, benarkah? Entah, yang jelas saya meminum segelas air mineral beremerk Aqua (Perancis). Perlu diketahui bahwa Aqua Golden Mississippi kini sudah dimiliki oleh perusahaan asal Perancis, Danone.

3. Biasanya saya membaca koran atau menonton berita pagi. Surat kabar langganan saya adalah Kompas (Grup Gramedia) dan stasiun TV favorit saya adalah Metro TV (Media Group). Kedua sumber berita ini asli milik Indonesia. Tetapi tidak dengan TV-nya, karena di rumah saya terpajang TV Sharp 21” (Jepang). Sambil mengisi otak dengan informasi bermutu, sesekali saya menyeruput teh Sariwangi (Unilever: Amerika, dan ada juga bagian Indonesianya) yang diberi dua sendok Gulaku (Indonesia).

4. Matahari beranjak tinggi, saatnya mandi. Toilet kamar mandi saya bermerek Toto (Italia), gayung Star (Indonesia), handuk Palmer (Amerika), sabun Lifebuoy (Unilever: Amerika), shampo Dove (Unilever: Amerika) atau Pantene (P&G: Amerika), conditioner Pantene (P&G: Amerika), sikat gigi Pepsodent (Unilever: Amerika), pasta gigi Pepsodent (Unilever: Amerika), sabun cuci muka Dove (Unilever: Amerika), serta deodoran Rexona (Unilever: Amerika).

5. Selesai mandi, berganti pakaian. Untuk inside wear saya menggunakan merek Rider (Amerika) dan Crocodille (Amerika), serta kadang-kadang GT-Man (Indonesia). Untuk outside wear, terutama celana jeans saya memiliki merek favorit yaitu Lee Cooper (Inggris). Sedangkan baju kaos saya tidak punya preferensi merek tertentu, yang penting muat dengan tubuh besar saya. Tetapi untuk baju polo, tentu saja merek Polo (Inggris) atau Country Fiesta (Amerika) menjadi pilihan saya. Merek baju lain yang sering saya gunakan adalah baju pemberian dari sales-sales korporat yang memberi reward pada toko-toko seperti milik orang tua saya.

6. Selesai mandi dan berganti pakaian, saatnya makan dimana tidak ada merek khusus, kecuali untuk sendok dan garpu makan tanpa merek yang diproduksi oleh pengusaha di kampung halaman orang tua saya (Tulungagung: Indonesia). Yah, kalaupun mau dipaksakan, saya biasa makan tempe dan tahu yang berasal dari kedelai (mayoritas impor dari Amerika), telur (Indonesia), Indomie (Indonesia), atau nasi uduk (tetangga saya: Indonesia).

7. Selesai makan, saya memakai sepatu Converse (Amerika) atau Adidas (Amerika) sebagai rumah dari kaki saya yang berukuran 43 (US size)

8. Selesai urusan di rumah, saatnya pergi ke kampus. Sebelum memanaskan mobil Suzuki Forsa GLX 1989 (Jepang), saya memeriksa oli mesin apakah masih cukup atau tidak. Jika tidak oli mesin Eneos (Jepang) harus ditambahkan agar mobil saya tidak mogok. Belum lagi mengecek oli rem Prestone (Amerika). Kebetulan minggu kemarin saya baru saja ganti ban baru bermerek Goodyear (Amerika). Masuk mobil, bau pengharum Ambi Pur (Jerman) terasa semerbak. Mobil tua kesayangan saya ini pun memiliki tanda mata dari beberapa merek luar, ia pernah ditabrak oleh Toyota Pick Up (Jepang), Toyota Vios (Jepang), Mercedes Benz (Jerman), motor Honda (Jepang), dan beberapa pengemudi motor lain yang langsung tancap gas sebelum saya sempat melihat merek kendaraan mereka (Lho? Ga lihat plat nomornya?).

9. Perjalanan akan terasa membosankan tanpa musik, maka saya memutar stasiun radio Jak FM (Indonesia) dengan audio player bermerk Sony (Jepang). Karena Sony saya sudah tidak memiliki fungsi tape maupun CD, maka saya juga sering mendengarkan lagu lewat MP3 player hadiah dari Bank Danamon (Kepemilikan oleh Singapura) yang bermerek Samsung (Korea Selatan).

10. Di jalan raya, banyak mobil berseliweran dengan beragam merek yang tidak bisa saya sebutkan satu demi satu karena saking banyaknya (yang jelas semua luar negeri, selain Timor). Selain mobil pribadi, adapula mikrolet dengan Toyota Kijang (Jepang), ojek dengan Honda, Suzuki, mocin, dll (Jepang dan Cina), metromini dengan Nissan (Jepang), bis pariwisata dengan Mercedes Benz (Jerman), dan adapula mobil polisi Mazda RX8 (Jepang) atau Nissan Skyline (Jepang).

Setidaknya sampai pada aktivitas di pagi hari, boleh dibilang saya menggunakan 80% lebih merek dari luar negeri. Hmm... Saya jadi bingung, bagaimana saya bisa bilang cinta produk Indonesia ya? Atau memang belum ada produk lokal yang bermain? Yang jelas, saya lebih suka pakai Converse dibandingkan Spotec. Waduh!

Nantikan merek-merek di siang hingga malam hari pada edisi berikutnya.

Oh ya, sementara menunggu, bagaimana kehidupan Anda dengan merek-merek di pagi hari?

Thursday, February 28, 2008

Songong Sehingga Ompong

Apakah Anda mengikuti berita tentang persidangan Zaenal Ma’arif yang dituduh mencemarkan nama Presiden SBY? Beberapa waktu lalu, setelah dicopot dari jabatannya sebagai anggota DPR, Zaenal Ma’arif membeberkan bahwa Presiden SBY pernah melakukan pernikahan sebelum menjadi tentara. Hal ini dianggap sebagai fitnah oleh SBY, sehingga ia melaporkan Zaenal Ma’arif ke pihak kepolisian. Kini disaat dirinya ditetapkan sebagai tersangka, Zaenal Ma’arif tidak mau mengakui jika ia pernah menuduh SBY menikah pada usia muda. Well, menurut saya karir poltiknya telah tamat. Diasingkan oleh partai politiknya, menjadi ‘musuh’ Presiden, dan tidak mendapat dukungan dari elemen masyarakat sudah bisa menjadi justifikasi pendapat saya.

Songong, kata ini sering saya dengar saat masih kecil, dan kini saya ketahui berasal dari bahasa Betawi. Kata ini dapat pula bermakna sombong, arogan, congkak atau senga’. Menurut agama, sombong adalah sifat yang tercela. Orang bijak juga mengatakan sombong sebagai perilaku yang tidak baik. Benarkah?

Alkisah tersebutlah sebuah merek di Jepang bernama Snow Brand. Perusahaan yang berdiri sejak tahun 1925 ini bergerak di bidang makanan dan minuman dan memiliki produk bervariasi, dari susu bayi, produk dairy, es krim, minuman beralkohol, hingga pakan ternak. Saat itu merek ini merupakan market leader di kategori mereka dengan market share sekitar 45% atau hampir setengah dari konsumen di Jepang. Tetapi semua itu berubah pada tahun 2000.

Masalah muncul di ketika muncul kasus keracunan di bagian barat Jepang, tidak tanggung-tanggung, korbannya mencapai 15.000 orang. Kasus keracunan makanan adalah hal yang paling ditakuti oleh perusahaan makanan dan minuman. Setelah diselidiki, ternyata sumber racun berasal dari bakteri di parbrik Osaku miliki Snow Brand Milk Products Co. yang memproduksi susu low-fat.

Perusahaan kemudian tidak ingin masalah ini muncul ke publik dan menimbulkan ekses negatif kepada brand mereka. Salah satu tindakan mereka adalah dengan membatasi penarikan produk dari pasar. Pusat kesehatan publik kota Osaka kemudian memerintahkan penarikan dua macam produk susu dan meminta Snow Brand menarik produk lainnya secara sukarela. Ini adalah hal terakhir yang ingin dilakukan oleh perusahaan karena akan menimbulkan pemberitaan buruk bagi mereka. Tetapi pemerintah pusat kemudian memberikan teguran keras dan memerintahkan dilakukan penarikan produk. Snow Brand kemudian setuju untuk menarik produk seraya meminta pemerintah untuk tidak mengumumkan perihal perintah penarikan tersebut. Rupanya Snow Brand ingin memberikan kesan sukarela dalam penarikan produk mereka.

Sialnya, pemerintah justru mengumumkan perintah penarikan dan permintaan Snow Brand dalam membujuk pemerintah itu. Selain itu, muncul anggapan di masyarakat bahwa perusahaan berusaha menutupi insiden keracunan ini. Snow Brand mengatakan bahwa luas area yang terkontaminasi bakteri kecil, tetapi hasil penyelidikan menyimpulkan area terdampak lebih luas dari yang diklaim Snow Brand. Persepsi buruk juga bertambah lantaran arogansi CEO Snow Brand, Tetsuro Ishikawa, yang berusaha mati-matian mendapatkan dukungan untuk membantu klaim perusahaan.

Kasus yang dialami oleh Snow Brand mengakibatkan sang CEO harus masuk rumah sakit, diikuti oleh pengunduran dirinya dan seluruh jajaran eksekutif tertinggi di perusahaan. Dampak dahsyat dialami oleh perusahaan yang harus menanggung kerugian di tahun tersebut sebesar 52,9 miliar yen, mengakibatkan mereka harus menutup delapan pabrik. Market Share yang sempat mencapai 45% terjun bebas hingga hanya 6% dalam waktu singkat. Perusahaan tua itu kemudian dinyatakan bangkrut, untuk kemudian dibeli oleh Nestle Japan Ltd. Snow Brand saat itu gagal menagani krisis lantaran bergerak terlalu lamban dalam menanganinya. Perusahaan lebih memikirkan kondisi kesehatan keuangannya dibandingkan dengan kondisi konsumennya, yang notabene adalah faktor utama yang menyehatkan perusahaan selama berpuluh-puluh tahun.

Untuk memperbaiki akibat dari kesombongan manajemen terdahulu yang tidak ingin mengakui kesalahan mereka, langkah pertama yang dilakukan oleh Kohei Nishi sebagai CEO baru adalah meminta maaf pada masyarakat luas. Menyatakan bahwa perusahaan menyadari kesalahannya dan berkeinginan untuk memperbaiki diri. Kini kinerja Snow Brand perlahan-lahan mulai menunjukkan kemajuan, meski belum mencapai keadaan saat berada di masa emasnya.

Belajar dari kasus Snow Brand, selayaknya sifat songong itu harus ditempatkan pada posisi yang seimbang. Bagi saya, sombong diperlukan selama masih dalam lingkup membangkitkan kepercayaan diri, tetapi jika sombong dapat membuat saya tersandung, sebaiknya kita mulai menundukkan kepala untuk melihat apa yang mengganjal di jalan ketika kita berjalan. Kalau benar, ya jalan terus, jika salah, ya minta maaf. Tidak mudah sih! sayapun termasuk orang yang suka tidak peduli pendapat orang lain, senang bekerja dan memaksakan pendapat diri. Tapi, setidaknya awareness mengenai akibat dari kecongkakan sudah saya dan Anda ketahui bersama. Yap! Let’s just get better.

Over-Varied (Lesson From Disney)

Anda pernah lihat gambar Mickey Mouse atau Donald Duck yang banyak dilukiskan di tempat yang tidak semestinya? Maksud saya di gerobak es krim keliling atau wahana odong-odong yang rutin mengajak anak-anak memutari komplek di saat sore hari? Penggunaan karakter-karakter itu di Indonesia, meski tanpa izin, mungkin tidak akan berpengaruh bagi penjualan merchandise Disney. Tetapi lain lagi ceritanya ketika kejadian ini terjadi di Amerika Serikat (AS) tempat Disney menggantungkan harapan penjualan mereka.

Alkisah pada tahun 1980-an, Disney berniat untuk melakukan ekspansi merek mereka ke seluruh dunia, termasuk AS didalamnya. Kegiatan ini berlangsung secara legal dan memiliki lisensi dari Disney. Dikomunikasikanlah karakter-karakter mereka, dari Paman Gober dan keluarga hingga tokoh Pluto, anjing Mickey, yang baru lahir saat itu. Promosi karakter mereka lancarkan melalui bermacam media, dari produk merchandise, iklan TV, hingga yang cukup tidak nyambung seperti lemari es atau microwave.

Pada akhir dekade 80, Disney mulai menyadari bahwa karakter-karakter mereka, terutama Mickey dan Donald telah banyak muncul bukan pada tempat yang semestinya sehingga dianggap overexposed. Hal ini menyebabkan mereka mengadakan brand audit untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap merek Disney secara menyeluruh. Hasilnya mengejutkan pihak Disney dimana muncul potensi masalah yang cukup serius apabila tidak segera ditangani. Produk Disney yang terlalu banyak menyebabkan konsumen bingung menilai brand Disney, muncul persepsi-persepsi masyarakat yang tidak sejalan dengan tujuan perusahaan. Muncul anggapan Disney adalah produsen perkakas rumah, yang tentunya tidak berhubungan dengan dunia hiburan yang selama ini Disney coba tawarkan. Konsumen juga memiliki anggapan bahwa Disney terlalu mengkomersilkan karakter-karakter mereka yang sudah terkenal. Potensi masalah terbesar adalah menjauhnya persepsi merek Disney dengan dunia anak, dimana anak tidak lagi memiliki keterlibatan untuk memutuskan membeli produk-produk ‘dewasa’ tersebut.

Kini, di Indonesia muncul fenomena artis yang diekspos dengan berlebih untuk mendapatkan kesempatan meraih materi disaat masa ‘laku’ mereka. Melakukan sinetron kejar tayang di beberapa stasiun televisi sehingga muncul kredo ‘dia lagi, dia lagi’. Tidak hanya di sinetron, mereka juga banyak yang menyebrang untuk beradu akting di layar lebar. Belum lagi yang mencoba peruntungan di dunia tarik suara. Hasilnya muncul fenomena cepat mekar cepat pula layunya, sederhana saja, karena konsumen bosan.

Ringgo Agus Rahman, adalah salah satu artis yang saya soroti belakangan ini. Setelah sukses memperkenalkan dirinya dalam film Jomblo, Ringgo hadir di layar kaca dengan frekuensi yang tinggi, terlihat dari banyaknya acara yang ia pandu sendiri, setidaknya di 3 stasiun TV (RCTI, AnTV, dan MTV Indonesia). Belum lagi beberapa film layar yang ia bintangi, sinetron, gosip hubungan asmaranya, dan muncul sebagai endorser produk Esia. Ringgo menawarkan kepada konsumen pada penampilan perdananya di Jomblo mimik berbicaranya yang lucu. Satu-satunya keunikan diri yang Ringgo berikan dalam seluruh acaranya, hal ini membuat, setidaknya saya, bosan. Bayangkan jika Anda melihat Oprah Winfrey memiliki 3 talkshow yang memiliki konten yang sama, apakah Anda akan tetap antusias melihat Oprah? Saya melihat Ringgo sebaiknya fokus ke aktivitasnya di layar lebar, karena keunikan mimik lucunya sangat tergali dengan baik. Berbeda dengan layar lebar, dalam reality show yang ia bawakan, terlihat Ringgo kurang dapat membawa suasana menjadi menyenangkan.

Pada kisah Disney, perusahaan kemudian mengambil langkah drastis dengan menghilangkan produk-produk yang tidak ‘berbau’ Disney. Mereka kembali fokus untuk berdekatan dengan dunia hiburan keluarga dengan tidak mengkomersilkan karakter-karakter mereka yang sudah dianggap sebagai simbol dunia anak dengan tidak membuat produk yang dianggap ‘dewasa’. Disney mendapatkan pelajaran berharga bahwa Disney was Disney, dan konsumen mereka ingin Disney tetap seperti itu. Konsumen ingin tertawa bersama Mickey, Mini, dan Pluto dalam film kartun. Konsumen ingin melihat Donald Duck di taman hiburan dan produk anak. Saat ini meskipun Disney tetap diekspos dengan luar biasa, tetapi karena ia konsisten bertahan pada jalur ‘fun family entertainment’, konsumen tidak akan protes, karena Disney was (is still) Disney.

Para artis atau produk atau Anda yang ingin mengkomersilkan diri sendiri sebaiknya mulai memilih jalan bagaimana Anda ingin diingat. Sebagai seorang pemain film layar lebar, sinetron, atau penyanyi? Sebagai produk anak-anak atau dewasa? Sebagai seorang akademisi, oportunis, pemimpin, orator, atau perampok? Yang jelas, harus ada konsistensi dari diri Anda. Belajar dari brand yang sukses seperti Disney dengan memfokuskan pada dunia hiburan keluarga dan anak-anak dapat berguna bagi kelangsungan brand Anda. Jika Anda telah memasuki quarter life crisis, sebaiknya segera putuskan kemana Anda ingin melangkah.

Sunday, January 27, 2008

Antara Vegas dan Jakarta

Las Vegas, apa yang ada di benak Anda saat mendengar nama itu? Bagi saya, Las Vegas berarti judi, kasino, glamour, elit, dan hedon. Mungkin jawaban Anda berbeda, tetapi saya yakin tidak berbeda jauh lah. Bagaimana bisa, kebanyakan dari kita yang belum pernah pergi ke pusat negara bagian Nevada tersebut bisa memiliki persepsi yang hampir seragam?

Vegas berhasil membagun citra diri kotanya dengan posisi yang unik dibandingkan dengan hampir kebanyakan kota-kota besar lain di dunia. Jika diizinkan saya mengistilahkannya dengan kasar, Vegas adalah kota maksiat. Secara halus, Vegas memiliki reputasi sebagai tempat bermain orang dewasa yang menarik. Imaji ini muncul tidak dalam waktu yang singkat, tetapi untuk membicarakan jauh ke belakang saya takut Anda bosan membacanya.

Mari kita mulai saja sejarah Vegas dari pertengahan 90-an, saat diresmikannya hotel-hotel mewah seperti MGM, Treasure Island, dan Excallibur. Di masa itu Vegas melakukan promosi kotanya dengan slogan “It’s Anything and Everything”. Singkat kata, dengan keinginan otoritas kota untuk meningkatkan persepsi Vegas sebagai kota tempat-orang-dewasa-punya-kegiatan, slogan tersebut dianggap kurang dapat mewakili dan memiliki diffrensiasi yang lemah. Setelah tragedi 9/11, Vegas merubah slogannya menjadi “What You Want, When You Want”. Tetapi pembaruan ini tidak memberikan peningkatan yang menggembirakan.

Vegas rupanya sangat serius dalam usaha menampilkan dirinya. Tim riset pemasaran digenjot, hasilnya muncul rekomendasi mengenai konsep positioningAdult Freedom – a place where you can do things you couldn’t or wouldn’t do at home”. Konsep ini kemudian dicoba untuk diejawantahkan dengan slogan “It’s Time for You”. Slogan ini muncul melihat hasil penelitian mengenai keinginan orang untuk rehat dan keinginan orang untuk diyakinkan bahwa mereka memang diperbolehkan untuk beristirahat, di Vegas tentunya. Penggunjung Vegas meningkat, tetapi mereka tidak cepat puas.

Kembali, dengan konsep payung Adult Freedom, Vegas mengeluarkan slogan pemasaran kedua mereka yang fenomenal, “What Happens Here, Stays Here” (WHHSH). Disini, mereka tidak hanya mengaktifkan tingkat persepsi pengunjung, melainkan sampai ke tingkat actual behavior. Las Vegas, secara nakal memberikan ‘izin’ kepada pengunjungnya untuk menikmati fasilitas rekreasi dewasa yang ditawarkan tanpa harus merasa bersalah. WHHSH juga merupakan slogan yang bersifat provokatif dan berusaha menantang konsumen untuk melewati batas-batas serta mendapatkan pengalaman baru. Wah! Bisakah Anda kaum Adam menahan godaan ini? Well, tidak hanya pria, bagaimana dengan wanita?

Pada tahun 2005 lalu Vegas mengeluarkan double slogan, WHHSH tetap dipertahankan dan ditemani oleh slogan lain, yaitu “Vegas Alibi”. Pengeluaran taktik terbaru ini adalah tindak lanjut dari kampaye WHHSH, dimana jika Anda sudah melakukan hal yang luar biasa di Vegas, apa yang akan Anda katakan pada orang-orang saat Anda di rumah. Komunikasi secara ‘niat’ oleh otoritas kota Las Vegas telah menjadikan kota tersebut mendapat tempat khusus di benak pelancong dalam dan luar negeri sebagai tempat berlibur yang ‘menantang’.

Bagaimana dengan Jakarta? Rumah kita semua ini. Menurut Anda, apa yang ada di benak pelancong luar negeri tentang Jakarta? Kalau saya yang ditanya, saya akan jawab macet, mal, dan Dufan. Tapi saya rasa persepsi saya itu tidak pantas ditawarkan pada calon turis. Lalu, apa sih yang identik dengan Jakarta yang membuat pelancong mau datang kesini? Hmm.. saya saja yang orang Jakarta bingung mau dibawa kemana ibukota ini.

Tanpa bermaksud merendahkan pekerjaan Pemprov DKI, seingat saya belum pernah ada komunikasi intensif resmi dari Pemda kepada costumer luar negerinya. Mungkin Pemda hanya meniru ‘Ayahnya’ (Pemerintah Pusat – Red) dalam mengelola potensi pariwisata dan branding Jakarta. Lihat saja promosi Visit Indonesia 2008, dipimpin Jero Wacik (Menpar), yang hingga akhir Januari masih berkutat mencari slogan yang tepat. Weleh weleh.. Kunjungi tahun 2008 kok tahun 2008 masih merencanakan?

Saya tidak ingin Jakarta menjadi Las Vegas, bisa dibakar kota ini oleh FPI dan FBR. Saya hanya berharap pemerintah bersama-sama dengan rakyatnya bersatu mewujudkan kota Jakarta yang dapat dijual kelebihannya kepada turis asing maupun domestik. Jakarta dapat mensejajarkan dirinya dengan kota besar lain di dunia, tentu saja dengan mengedepankan aspek keunikannya yang lain daripada yang lain.

Boleh urun rembuk? Jadikan positioning kota ini sebagai miniatur Indonesia. Jakarta sudah memiliki penduduk yang merepresentasikan penduduk Indonesia, tetapi kebudayaan beragam yang ada belum terlihat dengan baik. Misalkan di Jakarta ada wilayah Pecinan, lestarikan itu. Ada wilayah Arab, pertahankan. Lalu tentunya ada cagar budaya Betawi. Buat saja daerah-daerah kecil yang mewakili kebuadayaan utama di seluruh Indonesia, dari Merauke sampai Sabang. And then, dengan bangganya penduduk Jakarta memasarkan sang ibukota melalui slogan “Feel and Sense It All Here, The Real Beauty of Indonesia”. Tahap selanjutnya, Jakarta menjadi entry point yang tepat bagi turis yang ingin mengunjungi daerah-daerah lain di Indonesia. Wah! Ideal sekali ya? Makanya, pilih saya jadi gubernur.. eh, presiden saja deh!

Pendapat Anda?

Saturday, January 26, 2008

Smkoiing is Bad, But I Thnak You For Smkoiing (Kasus De Beers Co.)

Beberapa hari yang lalu, saya menghadiri pernikahan teman seangkatan saya. Ia dan suaminya mengenakan pakaian pengantin, berdiri di pelaminan menunggu ucapan selamat dari kerabat, dan diapit oleh dua keluarga yang menyatu sejak sang suami mengucapkan “saya bersedia” di hadapan penghulu. Tetapi pandangan saya tersita pada simbol yang menyatakan seseorang telah dapat menjalin kasih secara legal dan sah, cincin. Betapa lingkaran yang disematkan di jari manis tangan kiri ini telah menjadi variabel yang wajib hadir dalam upacara pernikahan ataupun (hanya) tunangan.

Kewajiban memiliki cincin ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk meraup keuntungan. Anda dapat bertanya kepada para perajin perak di Kasongan, Yogyakarta, yang hidup dari perhiasan duniawi ini. Lebih heboh lagi, Anda dapat melihat perusahaan berlian, De Beers Group, yang berdiri sejak 1888 dan menguasai 60% pasar berlian mentah di dunia.

Sejak 1948, De Beers menggunakan slogan “A Diamond is Forever” yang sangat terkenal, hingga James Bond pun tergiur untuk merasakan manisnya slogan ini dalam salah satu filmnya. Dengan kampanye ini, perusahaan berhasil mendapatkan pasar berlian senilai 25 juta dollar hanya di wilayah Amerika Serikat.

Di tahun 2001, De Beers menggunakan slogan “For your past, present, and future” dengan tujuan meningkatkan penjualan dari produk three-stone diamond rings mereka. Perusahaan mempromosikan produk ini sebagai hadiah yang tepat untuk perayaan anniversary. Harapan perusahaan, perilaku konsumen berubah menjadi repeated buyers dari sebelumnya hanya occasional buyers. Konsumen, dimana Anda diharapkan masuk di dalamnya, akan membeli three-stone diamond rings saat merayakan hari jadi tunangan mereka atau perayaan pernikahan platina, bukan hanya pada hari tunangan atau pernikahan.

The result, pada tahun 2002 penjualan cincin berlian De Beers di Amerika Serikat meningkat sebesar 74%.

Memasuki tahun 2003, De Beers melakukan kampanye iklan yang menyimbolkan kebutuhan dari tangan kiri dan kanan wanita. De Beers mengajak wanita untuk mulai memikirkan tangan kanan mereka. Alih-alih terpaku pada tangan kiri yang identik dengan cincin pertunangan atau pernikahan, De Beers ingin membuat tangan kanan wanita identik dengan cincin yang fashionable. Coba simak contoh iklan De Beers yang berbunyi “Your left hand says ‘we’, Your right hand says ‘me’”. Iklan ini kemudian diakhri oleh tagline “Women of the World, Raise Your Right Hand”. Sampai saat ini ada 16 jenis cincin ‘tangan kanan’ yang telah dikeluarkan oleh De Beers.

De Beers saya anggap pandai dalam membuat pasar baru. Dengan kampanye ini, akan ada pasar istri-istri, atau bahkan tidak tertutup kemungkinan para calon istri, yang akan membeli cincin fashionable tersebut, entah dari penghasilan pribadi atau rekening suami (pasangan) mereka. Sebagai manusia egois yang memafhumi tujuan pemasaran, saya angkat topi untuk tindakan perusahaan berlian ini.

Tetapi coba Anda tanya pendapat dari para feminis atau anti kapitalis dalam menanggapi pengkomoditian wanita ini. ‘Kelemahan’ wanita (lumrahnya) berupa keterpesonaan terhadap perhiasan membuat mereka menjadi korban dari konsumerise. Wah, bisa gregetan mereka!

Kita sering membeli produk-produk komoditas yang diberi nilai tambah berlebih sehingga tidak terasa kita sebenarnya membayar benar-benar-begitu-sangat-jauh-kelewat-mahal. Tidak mengapa jika sesekali saya dan Anda menyerah terhadap kelemahan-berupa-dorongan-menghabiskan-uang kita untuk menyeruput Frappucinno atau memakan Glazzy Donut. Masalahnya, apakah kelemahan saya dan Anda sering ‘dimanfaatkan’ saat membeli produk yang sebenarnya tidak akan membuat kita ‘hilang’ jika tidak menggunakannya? Apakah kita sudah terlalu sering tertipu nilai fana produk?

Sebagai konsumen, saya tidak mau tertipu oleh korporasi. Tetapi kalau saya berada di pihak korporasi, itu lain soal lagi. I’ll say, Thank You For Smoking!

nb: tulisan saya ini bukan pesan moral.

Kekuatan Bisik-Bisik (Kasus Iklan Bawah Sadar)

Good Day!

Sering saya membaca artikel-artikel tentang pentingnya nilai tambah dalam memasarkan produk, tetapi baru belakangan ini saya menghayatinya.

Dalam sebuah wawancara terhadap konsultan pemasaran Aqua, sang narasumber mengatakan kalau konsumen mengetahui harga produksi Aqua maka mereka akan terheran-heran. Ia tidak mengatakan nilai persisnya, tetapi sebagai ilustrasi beliau mengatakan jika konsumen rela mengeluarkan ongkos 100 demi produk berharga 10, maka 100 adalah harga yang akan dibayar konsumen. Coba anda bayangkan, berapa sih biaya yang anda butuhkan untuk menimba air 600ml di gunung? Yang jelas anda mengeluarkan Rp.1200-Rp2000 untuk mendapatkannya.

Pertanyaan yang penting adalah, bagaimana anda dapat memasarkan produk dengan harga berlipat-lipat dari biaya produksinya? Dengan begitu, tentu saja margin keuntungan anda akan semakin besar.

Dalam budaya bisik-bisik dan gosip, kita mengenal adanya urban legend. Hampir sama dengan legenda zaman dulu yang diceritakan dari generasi ke generasi, urban legend diceritakan secara berantai dari mulut ke mulut. Sejak ada internet, penyebaran urban legend menjadi sangat cepat dan mengglobal. Legenda modern ini kebanyakan bohong, tetapi ada juga urban legend yang separuh benar atau seluruhnya benar. Dalam pemasaran, urban legend tak jarang diceritakan oleh para pemasar untuk menawarkan produk dan jasa yang mereka jual. Tak jarang orang yang jatuh cinta pada romantisme cerita yang beredar. Apalagi kalau bentuknya cerita yang melegenda. Masih ingat tulisan sebelumnya mengenai cerita dongeng Starbucks yang yang me- repackage kopi Toraja sehingga membuatnya memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi?

Contoh lainnya dapat dilihat dalam urban legend tentang sublimal advertising. Pada 1957, Vance Packard menulis buku berjudul The Hidden Persuaders. Di buku itu, Packard menulis tentang variabel-variabel subliminal sebagai faktor penting untuk mendesain sebuah iklan. Buku ini hampir saja menjadi sumber inspirasi saya untuk membuat topik skripsi yang akhirnya saya batalkan.

Pada tahun 1970an, buku ini dijadikan pijakan oleh pengusaha sekaligus peneliti bernama James Vicary untuk melakukan survei di sebuah bioskop di New Jersey. Dalam pemutaran sebuah film, James menyelipkan pesan, "Minumlah Coca-Cola. Kalau lapar, makan saja popcorn". Pesan ini diselipkan dengan kecepatan 1/3000 detik. Ada yang pernah mendengar hoax research ini? Konon, hasil eksperimen ini mampu meningkatkan penjualan pop-corn hingga 57,8% dan Coca-Cola 18,1% di kantin bioskop itu. Riset ini menunjukan betapa hebatnya pengaruh sublimal adveritising atau iklan di bawah alam sadar. Begitu hebatnya cerita ini, hingga badan pengawas komunikasi di Amerika melarang iklan di bawah alam sadar pada 1974. Ternyata cerita ini bohong belaka. Ketika James Vicary disuruh mengulangi eksperimen yang sama, ia mengaku bahwa data eksperimennya dipalsukan.

Pada 1970, pernah juga beredar cerita bahwa sepatu Adidas adalah singkatan dari All Day I Dream About Sex. Sehingga remaja yang memakai sepatu itu dianggap memberi sinyal ajakan bercinta. Cerita ini tentu saja salah 100%. Yang benar, Adidas adalah singkatan dari Adi Dassler, penemu Adidas pada 1924.

Tapi ada juga urban legend yang benar. Misalnya cerita tentang pembalut wanita Kotex. Ketika berlangsung Perang Dunia I, Kimberly Clark berhasil membuat pembalut luka berbahan cellucotton. Bahan unik ini dapat menyerap cairan
lima kali lebih besar sehingga sempurna untuk dijadikan pembalut. Usai perang, Clark memasarkan produk ini sebagai pembalut wanita dengan merek Kotex yang merupakan singkatan dari cotton textile.

Kembali ke kasus Aqua. Apakah anda membelinya karena tertarik dengan dongengnya mengenai air murni dari pegunungan? Apakah “saking” murninya sehingga anda merasa akan sehat dan aman dalam mengkonsumsinya? Atau apakah dengan meminum Aqua anda merasa sebagai konsumen yang memperhatikan kesehatan anda? Fenomena urban legend menunjukkan dahsyatnya pengaruh sebuah cerita yang berubah menjadi legenda. Dengan cerita yang pas, anda bisa memukau dan terpukau olehnya.


Momentum (CNN hidup dari John Lennon)

John Lennon adalah artis yang memiliki pengaruh yang besar pada masanya dan bahkan hingga kini. Ia tidak hanya menginspirasi para penggubah lagu, tetapi juga membuat Amerika Serikat ketar-ketir dengan kampanye anti perangnya, sehingga membuat CIA mengutus Mark Whitman untuk menembak mati Lennon saat keluar di depan apartemennya di New York pada tanggal 8 Desember 1980.

Ternyata setelah Lennon meninggalpun ia tetap dapat menginspirasi serta memberikan keuntungan bagi banyak pihak.

Konon, sukses stasiun TV CNN hingga saat ini adalah berkat ‘keahliannya’ memanfaatkan John Lennon. CNN adalah buah karya enterpreneur Ted Turner yang merupakan stasiun TV berita pertama yang menyiarkan program 24 jam nonstop. Ketika pertama kali mengudara, konsep CNN sukar diterima oleh para pemirsa. Bujet mereka sangat terbatas. Ditambah mereka harus membiayai delapan kantor perwakilan untuk memproduksi cukup berita. Enam bulan pertama, CNN hidup kembang kempis. Mereka juga belum memiliki selebriti TV yang terkenal sehingga CNN hampir tidak dikenal konsumen saat itu. Akhirnya momentum yang ditunggu tiba juga.

Saat John Lennon secara tragis ditembak hingga wafat. Sekonyong-konyong 1,7 juta keluarga Amerika yang memiliki akses terhadap CNN saat itu, percaya atau tidak, secara antusias lalu menonton CNN. Mereka langsung merasakan bedanya. TV nasional yang besar-besar saat itu hanya terbatas menyiarkan berita, baik waktu tayangnya dan juga isinya. Sebaliknya, CNN menyajikannya dengan up to date terus-menerus dari jam ke jam. Penonton ketagihan menonton CNN. Dengan CNN kita seolah berpatisipasi langsung dengan sejarah.

Selanjutnya, ketika Perang Teluk pecah empat tahun kemudian, setidaknya hampir 12 juta pemirsa rajin mengikuti perkembangan perang lewat CNN. Kini CNN minimal ditonton oleh lebih dari 80 juta keluarga di seluruh dunia.

Contoh yang sama ‘plek’ dengan CNN dan dapat kita amati adalah Metro TV.

Metro TV muncul sebagai media dengan konsep berita 24 jam nonstop, sama seperti CNN. Dengan tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang masih rendah, apakah yang Metro TV harapkan saat pertama melakukan siaran? Rating yang tinggi? Sulit tentunya.

Tetapi Surya Paloh rupanya dinaungi dewi Fortuna dalam mengelola Metro TV. Tahun 2001, Gus Dur jatuh dari kursi kepresidenan. Kejadian saat ia keluar Istana Negara hanya dengan menggunakan celana pendek dan melambai disaksikan live oleh pemirsa. Detik-detik pengiriman pasukan berani mati dari Jawa Timur beserta pelatihan perangnya menjadi tontonan seru saat itu. Tentu ada pula momen ‘keberuntungan’ Metro TV lainnya, seperti aksi terorisme bom Bali atau Mariott.

Serta momen yang tidak dapat dilupakan yaitu saat terjadi tsunami Aceh pada 2004. Masih lekat di benak saya tangisan Najwa Shihab saat melaporkan langsung dari Banda Aceh. Apakah anda salah satu pemirsa yang setia mengikuti breaking news Metro TV saat itu seperti saya? Sebagai hasilnya, saat ini siapa tidak kenal Metro TV? Atau Najwa Shihab?

Pelajaran pemasaran yang dapat kita petik dari kasus CNN dan Metro TV adalah pentingnya memanfaatkan momentum.

Momentum dalam pemasaran adalah salah satu strategi kunci. Menurut Sun Tzu, jenderal perang Cina yang terkenal, momentum terdiri dari 2 elemen penting. Pertama adalah waktu yang pas dan yang kedua adalah kontrol. Sun Tzu mengambil contoh populer yaitu katepel. Untuk sukses mengkatepel sesuatu, harus didasarkan kapan melepas peluru (waktu) dan sekuat apa menarik karet katepel (kontrol). Kerikil kecil kalau dilontarkan dengan kecepatan tinggi dan diarahkan ke bagian vital akan mampu membunuh musuh.

Momentum jelas merupakan senjata rahasia untuk memanen peluang. Barangkali kita perlu belajar dari pedagang asongan yang jago memanfaatkan momentum. Hari-hari biasa mereka hanya berdagang di perempatan jalan yang padat lalu lintasnya. Namun mereka cerdas memanfaatkan momentum. Jalan tol macet, mereka langsung pindah berdagang di ruas jalan tol. Lain lagi kalau banyak demonstrasi, mereka juga ikut berdagang dekat kerumunan demonstrasi. Pokoknya mereka selalu siap siaga. Di mana momentumnya memungkinkan mereka akan nyelip.

Tapi belajar dari pengendara motor yang menggunakan momentum tidak menggunakan helm saat tidak ada polisi perlu disaluti tidak ya? Itu terserah anda untuk menggunakan momentum secara bijak dan bertanggungjawab.

Tribute to 27th Anniversary of John Lennon death


Potensi Indonesia (Pelajaran dari Jepang dan Korea)

Akhir-akhir ini ketika saya melihat penjual-penjual barang haram (mungkin hanya distributor dan pemegang lisensi yang berpikir seperti ini) berupa DVD bajakan, jejeran tumpukan drama seri selalu didominasi oleh drama seri Korea Selatan dan beberapa dari Jepang. Banyak teman-teman yang saya kenal membeli dan melihat drama-drama seri dari dua negeri Asia yang pada tahun 2002 berhasil menyelenggarakan perhelatan besar Piala Dunia. Pembeli film ini juga tidak terbatas dari kalangan sosial tertentu. Kalian dapat menemukan kounter-kounter yang menjual film drama Korea dan Jepang mulai dari Tarra Megastore hingga ‘penampungan Glodok’, mulai dari yang asli berbanderol diatas Rp. 25.000 hingga murah meriah seharga Rp. 6.000. Baru-baru ini, seorang bintang Korea datang ke Jakarta untuk menyapa fansnya di Balai Sarbini. Di radio, lagu L’arc~en Ciel di-request oleh banyak pendengarnya. Muncul band-band beraliran J-Rock, dan juga band yang menggunakan nama genre ‘J-Rock’ itu sendiri. Serta jangan dilupakan komik dan kartun Jepang yang ada di rak buku (atau terserak?) kalian. Kata-kata seperti manga atau anime, bahkan hingga hentai banyak yang sudah melekat dalam perbendaharaan kata remaja masa kini.

Sekitar satu tahun yang lalu, pacar saya dan seorang teman mendapat kesempatan untuk pergi ke Jepang dan Korea selama hampir satu bulan penuh. Cerita yang mereka bawa kembali kesini mempunyai satu benang merah, yang menurut saya menjadi kunci sukses negara masing-masing. Penduduk masing-masing negera tersebut bangga dan mau mengenakan kultur mereka sebagai identitas pribadi dan kelompok. Bukan hanya untuk diri mereka sendiri, belakangan dengan semangat pemasaran kultur yang kuat, mereka mengekspansi lifestyle mereka. Sebagai catatan, riset di Korea Selatan mencoba melihat invasi kultur di dunia, kultur barat tetap menempati nomor satu dengan raihan 50%. Tetapi kultur Jepang mengalami kenaikan drastis dalam urusan ‘mengekspor’ kultur mereka, dan menempati posisi kedua dengan capaian 30%,. Sedangkan Korea Selatan, dengan konsep Hallyu-Wood-nya memperoleh 2%.

Kalau kita mau cermati, kebudayaan Jepang dan Korea sebenarnya secara kuantitas ada di bawah Indonesia. Jika dibandingkan, kita punya beragam kultur yang ada hampir di setiap jengkal negara kita. Sebagai contoh, pakaian tradisional Jepang dan Korea hanya satu, yaitu kimono dan hanbok. Pakaian tradisional Indonesia? Banyak sekali! Belum lagi kalau kita mau melihat sisi-sisi kultur lainnya, seperti bahasa, kerajinan, adat-istiadat, hingga musik. Dapat dipastikan kalau Indonesia punya itu semua, melimpah pula!

Di Indonesia, kita memiliki sejumlah produk unggulan, baik yang tradisional maupun kontemporer. Namun nilai keunggulannya masih sangat kecil secara ekonomis, karena belum ada sebuah situasi ideal untuk meningkatkan nilai apresiasinya. Tempe, misalnya, jelas merupakan produk ciptaan Indonesia. Di Indonesia sendiri, nilai apresiasinya sangat rendah. Padahal, nilai ekonomisnya tinggi sekali. Sebagai sumber protein, di samping murah, jauh lebih sehat dibandingkan dengan sumber protein yang lain. Celakanya, di Indonesia, tempe dianggap rendahan dan murahan. Lain dengan di luar negeri (misalkan Amerika), packaging tempe sudah dibuat dengan baik. Bentuknya juga sangat higienis. Hal ini mengingatkan saya akan oleh-oleh yang dibawakan oleh pacar saya. Dari Jepang dia memberikan biskuit dan roti khas Jepang, jumlahnya tidak banyak, tetapi harganya sangatlah mahal. Kalian tahu kenapa? Packaging-nya sangat cantik dan indah, bahkan kertas pembungkusnya kini saya simpan, siapa tahu bisa digunakan sebagai pembungkus kado di lain hari.

Kembali ke tempe. Dalam hati saya berpikir, kalau tempe bisa populer begitu di luar negeri dan mendapatkan apresiasi yang tinggi sehingga menjadi produk unggulan, masak sih kita tidak bisa melakukan hal yang sama? Kenapa kita tidak melakukan survei di luar negeri untuk mengetahui proses mengapa tempe bisa begitu populer? Lalu kita jiplak dan kita sesuaikan agar tempe bisa juga populer dan mendapat apresiasi yang begitu dahsyat di kalangan dalam negeri. Sekalian apabila tempe sudah populer, kenapa tak kita gunakan tempe untuk menjadi salah satu daya tarik kuliner Indonesia. Sehingga tempe bisa memberikan nilai tinggi dalam promosi turisme Indonesia di luar negeri. Situasi yang ideal bukan?

Starbucks, produsen kopi dunia, secara berkala menghadirkan serial kopi esklusif Black Apron. Kopi ini biasanya jumlahnya sangat terbatas dan sangat eksklusif. Jumlahnya terbatas dan harganya sangat mahal. Satu bungkus 226 gram dijual rata-rata di atas US$ 12. Satu kilo harganya bisa mencapai US$ 50. Gila! Khusus edisi Juli 2006, Starbucks mengeluarkan edisi Black Apron yang diberi sebutan Kopi Kampung. Kalian bisa tebak asal kopi ini? Tiada lain adalah Indonesia!

Didalam leaflet Kopi Kampung diceritakan dan didongengkan bahwa Starbucks sejak pertama kali beroperasi, 35 tahun lalu, sudah mengagumi kopi dari Sulawesi. Menurut mereka, kopi Toraja, atau kopi Sulawesi, memiliki signature taste atau cita rasa istimewa yang sangat kompleks seperti rempah-rempah, smooth atau halus sekali dan sekaligus elegan. Membaca ini, saya ikut terharu, karena di luar negeri kopi kita memang dianggap emas.

Untuk edisi Black Apron, perusahaan dari Seattle ini akhirnya melakukan sebuah ekspedisi menyusuri satu kampung demi satu kampung untuk menemukan sebuah cita rasa klasik yang masih murni. Starbucks mengaku, banyak kopi Toraja yang kini sudah bercampur aduk dengan berbagai kopi sehingga rasanya tidak lagi asli. Akhirnya ekspedisi mereka sampai ke sebuah kota kecil di Sapan dan Minanga di Sulawesi Utara. Mereka menemukan proses kopi yang ideal. Yaitu, biji-biji kopi yang masak dipetik langsung dari pohon, lalu dipilih kualitasnya, dan dijual di pasar hanya sehari setelah dipanen. Starbucks menganggap proses ini ideal sekali. Karena cita rasa kopi yang dihasilkan secara murni menerjemahkan cita rasa klasik kopi Toraja yang sejati. Akhirnya, kopi inilah yang mereka jadikan kopi limited edition edisi Black Apron dengan nama khusus Kopi Kampung.

Sebagai produk unggulan, konon Indonesia memiliki minimal tiga kopi jawara kelas dunia, dari 10 kopi terbaik di dunia. Ketiga kopi itu adalah Java Mocha, Sumatera Mandheling, dan Toraja Kalosi. Ironis kalau kita berbicara dengan kebanyakan petani kopi di berbagai daerah. Mereka mengeluhkan harga kopi yang rendah dan kompetisi yang mematikan dari Vietnam.

Dengan fakta-fakta ini, mestinya kita bangga dengan potensi produk unggulan Indonesia. Dengan bahasa sederhana, Tuhan Yang Maha Esa sangat pemurah dan baik hati melimpahkan kita kekayaan alam dengan potensi yang sangat luar biasa. Lalu, di mana kurangnya? Saya hanya bisa menemukan satu jawaban. Imajinasi! Kita perlu merangsang pemikiran yang lebih imajinatif. Siapa sangka ada kebudayaan dari timur yang mulai ‘menggerogoti kue’ kultur barat. Dengan mengekspor film drama, kartun, dan komik, kultur Jepang dan Korea disambut dengan ‘meriah’ di Indonesia.

Godfather negeri Perancis, Napoleon Bonaparte, berpesan, "The human race is governed by its imagination." Artinya, nasib kita memang ditentukan oleh imajinasi kita. Nasib bangsa ini juga ditentukan oleh seorang pemimpin yang imajinatif. Seorang pemimpin yang secara imajinatif bisa menciptakan benang merah antara potensi alam yang berlimpah dengan potensi sumber daya manusia negeri ini. Benang merah inilah yang akan menjadi cikal bakal produk unggulan Indonesia yang kita dambakan. Semakin tinggi imajinasi pemimpin kita, semakin jaya pula negeri dan republik ini. Start imaginating!