Wednesday, July 30, 2008

Amazing and Uniquely Indonesia, The Truly Asia

Seorang teman yang baru saja pulang dari liburannya di Australia bertutur mengenai keluh kesah dua keluarga imigran asal Indonesia yang sudah lama menetap sejak tahun 1970an. Melalui sudut pandang media negeri wombat, mereka merasa sangat miris melihat kondisi Indonesia saat ini. Korupsi menggila, bencana alam, terorisme, dan acuan negatif lain adalah berita yang mereka terima tiap hari. Terkesiap diri saya mendengar persepsi itu, seketika pula saya membela diri dengan mengatakan mereka itu tahu apa, wong sudah lama tidak disini kok sok tahu.

Tak butuh waktu lama, saya menyadarkan diri dan mencoba melihat kenyataan. Jika anak Indonesia sendiri sudah berpikir seperti itu, bagaimana dengan penduduk asli The Soccerros? Apa dampaknya terhadap Indonesia?

Alkisah pada tahun 1999 negeri ini masih dikunjungi sekitar 5 juta wisatawan atau sekitar 14% dari total wisatawan di kawasan ASEAN, dimana Thailand mendominasi dengan 26% dibuntuti Malaysia 24% dan Singapura 21%. Tahun 2006 kunjungan wisatawan stagnan jika tidak mau dibilang menurun dengan 4,8 juta atau meyisakan kontribusi dengan 8,6%, tertinggal jauh dengan peningkatan wisatawan Malaysia yang dikun jungi 17,5 juta orang atau sekitar 31%.

Setidaknya persepsi buruk mengenai Indonesia menggerogoti dunia pariwisata seperti terlihat pada data sebelumnya. Dalam dunia pemasaran modern, proses branding (baca: pencitraan) menjadi hal yang sangat diperhatikan untuk pengembangan produk. Sebalnya saya, pemerintah terkesan tidak melakukan kegiatan nation (destination) branding yang serius terhadap bangsa ini. Padahal seseorang yang ingin menjadi presiden atau gubernur saat ini sadar betul mengenai pentingnya branding diri dengan mengeluarkan biaya milyaran rupiah.

Thailand dengan slogan Amazing Thailand, Singapura dengan Uniquely Singapore, dan Malaysia melalui Truly Asia-nya merupakan representasi dari pemasaran modern. Indonesia tetap keukeuh dengan Visit Indonesia Year 2008 yang sama persis dengan slogan pariwisata masa Orde Baru, Anda lupa? Saya ingatkan kembali, Visit Indonesia Year 1991.

Perlu ada pembenahan radikal pada cara pemasaran dan pembuatan citra Indonesia kepada masyarakat luar. Pertama, perlu perubahan pada pembuat kebijakan pariwisata Indonesia. Jangan lagi ada kasus telatnya pencarian slogan pariwisata tahun 2008 yang masih dilakukan pada bulan Februari 2008, dimana akhirnya hanya ditambahkan Celebrating 100 Years Nation Awakening. Saya tidak habis pikir, apakah wisatawan asing peduli dengan Boedi Oetomo? Apakah kita ingin menawarkan wisata Kebangkitan Nasional? Tidak! Jadi, apa relevansinya?

Kedua, perlu pengenalan terhadap kelebihan dan perbedaan Indonesia dengan bangsa lainnya. Harus ada produk berbeda dan punya kualitas yang dijual. Jangan hanya memperlihatkan hamparan sawah dan gunung tanpa makna di iklan wisata, perlu ada penekanan yang lebih dalam. Contoh, pulau Kalimantan yang termasuk kawasan hutan tropis terbesar di dunia sekaligus pulau terbesar di dunia adalah difrensiasi yang tidak dimiliki oleh negara manapun. Biota laut di kawasan Indonesia menyimpan hampir 70% dari seluruh spesies laut di dunia, dimana lagi wisatawan dapat mendapatkan itu semua selain di sekitar selat Sulawesi dan Maluku. Jepang punya Kimono, Indonesia punya batik yang sudah di endorse secara sukarela oleh tokoh internasional sekaliber Nelson Mandela.

Ketiga, segala hal yang besar selalu dimulai dari yang kecil. Tidak perlu pemerintah terburu-buru memaksa membuka rute penerbangan antara Moskow dan Jakarta untuk menjaring wisatawan. Daripada nanti buang-buang uang untuk mengisi seat kosong pesawat demi menjaga gengsi adanya rute tersebut, masih banyak lho potensi turis dari negeri tetangga yang belum terjamah secara maksimal, seperti Malaysia, Singapura, dan Australia. Sudah rahasia umum jika turis Indonesia lumrah ditemui dan saling bertegur sapa saat berbelanja di Orchad Road atau antri naik ke Petronas Tower, negara tetangga bisa mengundang turis lokal kita kesana, kenapa kita tidak. Disilaukan oleh semut diseberang, pesawat Airbus 308 di pelupuk mata kok tidak terlihat.

Keempat, warga negara Indonesia yang berdiaspora dengan menetap atau bekerja di negara asing harus tetap diperhatikan dan diberikan edukasi mengenai pentingnya peran mereka dalam membuat persepsi positif Indonesia di mata warga asing. Gimana mau orang Aussy punya citra positif, kalau warga Indonesia yang disana mikir Indonesia semakin hancur dari hari ke hari. Pencitraan melalui community development adalah cara terkini yang terbukti ampuh dalam pemasaran produk di dunia yang semakin sesak informasi dan ter-clustered.

Terakhir, bagaimanapun masyarakat berusaha pemerintah tetap memegang peran utama untuk mewujudkan brand promise bagi turis asing yang sudah datang kesini. Dengan menggembar-gemborkan Indonesia sebagai negara tujuan wisata, turis harus diberikan servis maksimal dengan standar internasional. Paling tidak nih untuk pembuat kebijakan di atas sana, toilet di Soekarno Hatta dibersihkan dulu ya bos! Tidak mudah memang, tapi bisa. Brand promise terpenuhi, baru kita pede untuk bilang Indonesia, The Real Amazing, Uniquely, and Truly Asia!

Thursday, April 10, 2008

Politik = ‘Tahi Kotok’? Masa?

Di akhir bulan Maret 2008, politkus Belanda bernama Geert Wilders meluncurkan film Fitna yang menuai kontroversi dari beragam pihak. Bagaimanapun reaksi yang muncul, baik positif maupun negatif, telah membantu Geert Wilders menjadi public figure papan atas saat ini. Well, paling tidak dia jadi terkenal bagi para “pejuang” kebebasan. Dicaci di satu sisi, tetapi dianggap sebagai pahlawan di sisi lainnya. Bagi penganut Islam, film Wilders adalah penghinaan bagi agama mereka. Salah satu reaksi masyarakat muslim berdasarkan pandangan politiknya dapat dilihat dari pernyataan mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahatir Muhammad, untuk memboikot produk dari Belanda. Sedangkan pendukung Wilders menunjukkan pandangan politik mereka dengan membuat produk-produk yang memiliki tema sama dengan Fitna. Film animasi Life of Mohammad, direncanakan akan di launching beberapa saat lagi.

Di era 1970-1980-an, gerakan lingkungan dan partai hijau menghantam aneka produsen dan perusahaan yang merusak lingkungan, dan membuat produk dengan sewenang-wenang. Maka timbullah istilah produk ramah lingkungan. Beberapa perusahaan, seperti The Body Shop, dikenal aktif dan progresif mempromosikan produk hijau mereka. Tidak hanya sebagai produk penghibur sesaat, Body Shop telah menjadi merek yang memiliki konsumen setia dan menimbulkan persepsi pecinta lingkungan bagi konsumen mereka.

Di tahun 1990-an muncul pula gerakan baru yang mengancam produsen yang tidak berpolitik dengan benar. Gerakan ini pernah mengancam beberapa produsen yang melakukan diskriminasi harga atau mempekerjakan buruh di bawah umur. Beberapa produsen kini mencantumkan pernyataan di label mereka, bahwa mereka telah mengambil sikap politik dengan benar. Merek Tommy Hillfiger pernah menjadi sasaran konsumen yang memboikot produk setelah ngambek. Hal ini dikarenakan perusahaan memperkejakan anak-anak kecil di Afrika dan Cina.

Di masa mendatang, saya yakin perilaku konsumen yang berdasarkan pandangan politik tidak akan pernah mati. Salah satu fenomena yang berkembang beberapa tahun lalu adalah kisah Mecca Cola. Seorang Tunisia berkebangsaan Prancis bernama Tawfiq Mathlouthi, menciptakan minuman soda tersebut sebagai gerakan politik melawan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Mecca Cola diluncurkan pertama kali justru di Eropa, untuk menarik simpati penduduk Eropa yang ingin ikut menunjukkan pilihan politiknya.

Sebanyak 10% keuntungan dari Mecca Cola disumbangkan kepada perjuangan Palestina. Pada minggu pertama peluncuran, terjual 160.000 botol. Lumayan laris. Tak lama kemudian, perjuangannya mencapai 2 juta botol per bulan. Setelah sukses di Eropa, Mecca Cola baru akan diluncurkan di Timur Tengah.

Kini Mecca Cola juga menyumbang tambahan 10% untuk diberikan kepada LSM di Eropa. Ketika Eropa dilanda protes dan demo antiperang Irak, 36.000 botol Mecca Cola dan 10.000 kaus dibagikan gratis, dengan slogan antiperang. Tawfiq Mathlouthi menganggap pasar Mecca Cola tak terbatas besarnya. Ia mengicar pasar 1,5 milyar penganut muslim di seluruh dunia.

Mecca Cola bukan satu-satunya yang mengincar pasar itu. Masih ada Zam-Zam Cola dari Iran dan ada juga Qibla Cola yang diluncurkan di Inggris. Di Indonesia telah banyak produk bernapaskan Islam, namun belum ada yang mengambil jalur politik seperti Mecca Cola.

Beberapa produsen Cola di Eropa sudah mulai merasa tersaingi. Gerakan konsumen menyeberang ke area politik adalah ancaman yang serius. Setiap produsen harus secara peka mulai memikirkannya.

Suka atau benci, setuju atau menolak, membeli atau tidak, Anda sebagai konsumen selalu berpolitik dalam menentukan pilihan. Konsumen menentukan mereka mendukung atau menolak pendapat Geert Wilders berdasarkan pandangan politiknya.

Maka, alih-alih hanya dipolitisasi, isu film Fitna dapat pula di-‘ekonomisasi’ oleh sineas Indonesia. Saya yakin bahwa film Ayat-Ayat Cinta akan mendapatkan atensi besar jika ditayangkan di tingkat internasional. Film ini menawarkan sesuatu yang berbeda dengan Fitna dengan sisi humanisme dalam Islam. Ditambah lagi film ini berasal dari Indonesia, negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia, yang karena kemoderatannya (baca: Islam abangan), jauh lebih dapat diterima Eropa dibandingkan dengan pandangan dari Palestina, Iran, atau Irak. Jika Ayat-Ayat Cinta dapat di blow-up dengan baik, bukan hal yang tidak mungkin Hanung Bramantyo akan menjadi sepopuler Wilders.

Masih percaya politik hanya onggokan menyebalkan seperti ‘tahi kotok’? Masa? Politik itu emas bung!