Thursday, April 10, 2008

Politik = ‘Tahi Kotok’? Masa?

Di akhir bulan Maret 2008, politkus Belanda bernama Geert Wilders meluncurkan film Fitna yang menuai kontroversi dari beragam pihak. Bagaimanapun reaksi yang muncul, baik positif maupun negatif, telah membantu Geert Wilders menjadi public figure papan atas saat ini. Well, paling tidak dia jadi terkenal bagi para “pejuang” kebebasan. Dicaci di satu sisi, tetapi dianggap sebagai pahlawan di sisi lainnya. Bagi penganut Islam, film Wilders adalah penghinaan bagi agama mereka. Salah satu reaksi masyarakat muslim berdasarkan pandangan politiknya dapat dilihat dari pernyataan mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahatir Muhammad, untuk memboikot produk dari Belanda. Sedangkan pendukung Wilders menunjukkan pandangan politik mereka dengan membuat produk-produk yang memiliki tema sama dengan Fitna. Film animasi Life of Mohammad, direncanakan akan di launching beberapa saat lagi.

Di era 1970-1980-an, gerakan lingkungan dan partai hijau menghantam aneka produsen dan perusahaan yang merusak lingkungan, dan membuat produk dengan sewenang-wenang. Maka timbullah istilah produk ramah lingkungan. Beberapa perusahaan, seperti The Body Shop, dikenal aktif dan progresif mempromosikan produk hijau mereka. Tidak hanya sebagai produk penghibur sesaat, Body Shop telah menjadi merek yang memiliki konsumen setia dan menimbulkan persepsi pecinta lingkungan bagi konsumen mereka.

Di tahun 1990-an muncul pula gerakan baru yang mengancam produsen yang tidak berpolitik dengan benar. Gerakan ini pernah mengancam beberapa produsen yang melakukan diskriminasi harga atau mempekerjakan buruh di bawah umur. Beberapa produsen kini mencantumkan pernyataan di label mereka, bahwa mereka telah mengambil sikap politik dengan benar. Merek Tommy Hillfiger pernah menjadi sasaran konsumen yang memboikot produk setelah ngambek. Hal ini dikarenakan perusahaan memperkejakan anak-anak kecil di Afrika dan Cina.

Di masa mendatang, saya yakin perilaku konsumen yang berdasarkan pandangan politik tidak akan pernah mati. Salah satu fenomena yang berkembang beberapa tahun lalu adalah kisah Mecca Cola. Seorang Tunisia berkebangsaan Prancis bernama Tawfiq Mathlouthi, menciptakan minuman soda tersebut sebagai gerakan politik melawan kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Mecca Cola diluncurkan pertama kali justru di Eropa, untuk menarik simpati penduduk Eropa yang ingin ikut menunjukkan pilihan politiknya.

Sebanyak 10% keuntungan dari Mecca Cola disumbangkan kepada perjuangan Palestina. Pada minggu pertama peluncuran, terjual 160.000 botol. Lumayan laris. Tak lama kemudian, perjuangannya mencapai 2 juta botol per bulan. Setelah sukses di Eropa, Mecca Cola baru akan diluncurkan di Timur Tengah.

Kini Mecca Cola juga menyumbang tambahan 10% untuk diberikan kepada LSM di Eropa. Ketika Eropa dilanda protes dan demo antiperang Irak, 36.000 botol Mecca Cola dan 10.000 kaus dibagikan gratis, dengan slogan antiperang. Tawfiq Mathlouthi menganggap pasar Mecca Cola tak terbatas besarnya. Ia mengicar pasar 1,5 milyar penganut muslim di seluruh dunia.

Mecca Cola bukan satu-satunya yang mengincar pasar itu. Masih ada Zam-Zam Cola dari Iran dan ada juga Qibla Cola yang diluncurkan di Inggris. Di Indonesia telah banyak produk bernapaskan Islam, namun belum ada yang mengambil jalur politik seperti Mecca Cola.

Beberapa produsen Cola di Eropa sudah mulai merasa tersaingi. Gerakan konsumen menyeberang ke area politik adalah ancaman yang serius. Setiap produsen harus secara peka mulai memikirkannya.

Suka atau benci, setuju atau menolak, membeli atau tidak, Anda sebagai konsumen selalu berpolitik dalam menentukan pilihan. Konsumen menentukan mereka mendukung atau menolak pendapat Geert Wilders berdasarkan pandangan politiknya.

Maka, alih-alih hanya dipolitisasi, isu film Fitna dapat pula di-‘ekonomisasi’ oleh sineas Indonesia. Saya yakin bahwa film Ayat-Ayat Cinta akan mendapatkan atensi besar jika ditayangkan di tingkat internasional. Film ini menawarkan sesuatu yang berbeda dengan Fitna dengan sisi humanisme dalam Islam. Ditambah lagi film ini berasal dari Indonesia, negeri dengan penduduk muslim terbesar di dunia, yang karena kemoderatannya (baca: Islam abangan), jauh lebih dapat diterima Eropa dibandingkan dengan pandangan dari Palestina, Iran, atau Irak. Jika Ayat-Ayat Cinta dapat di blow-up dengan baik, bukan hal yang tidak mungkin Hanung Bramantyo akan menjadi sepopuler Wilders.

Masih percaya politik hanya onggokan menyebalkan seperti ‘tahi kotok’? Masa? Politik itu emas bung!

Me, Myself, and Brand (edisi pagi)

Anda pernah menghitung merek-merek produk apa saja yang Anda gunakan sejak bangun pagi hingga tidur malam? Hari ini tanpa alasan khusus saya mencoba melakukannya. Tetapi untuk edisi kali ini, saya akan membatasi merek-merek yang berkecimpung di dunia saya saat pagi menuju siang hari (05.45-12.00). Selamat menikmati!

1. Terkantuk-kantuk dalam suasana pagi, sebagai muslim saya melakukan ibadah sholat Subuh. Berwudhu dengan air tanah yang diambil dengan pompa air Sanyo (Jepang). Selesai membasahi beberapa bagian tubuh, saya mengambil sarung Gajah Duduk atau Atlas (keduanya Indonesia) untuk kemudian mengalasi kaki saya dengan sajadah Fatah (Turki).

2. Menurut Ibu saya, baik untuk meminum segelas air putih di pagi hari supaya awet muda, benarkah? Entah, yang jelas saya meminum segelas air mineral beremerk Aqua (Perancis). Perlu diketahui bahwa Aqua Golden Mississippi kini sudah dimiliki oleh perusahaan asal Perancis, Danone.

3. Biasanya saya membaca koran atau menonton berita pagi. Surat kabar langganan saya adalah Kompas (Grup Gramedia) dan stasiun TV favorit saya adalah Metro TV (Media Group). Kedua sumber berita ini asli milik Indonesia. Tetapi tidak dengan TV-nya, karena di rumah saya terpajang TV Sharp 21” (Jepang). Sambil mengisi otak dengan informasi bermutu, sesekali saya menyeruput teh Sariwangi (Unilever: Amerika, dan ada juga bagian Indonesianya) yang diberi dua sendok Gulaku (Indonesia).

4. Matahari beranjak tinggi, saatnya mandi. Toilet kamar mandi saya bermerek Toto (Italia), gayung Star (Indonesia), handuk Palmer (Amerika), sabun Lifebuoy (Unilever: Amerika), shampo Dove (Unilever: Amerika) atau Pantene (P&G: Amerika), conditioner Pantene (P&G: Amerika), sikat gigi Pepsodent (Unilever: Amerika), pasta gigi Pepsodent (Unilever: Amerika), sabun cuci muka Dove (Unilever: Amerika), serta deodoran Rexona (Unilever: Amerika).

5. Selesai mandi, berganti pakaian. Untuk inside wear saya menggunakan merek Rider (Amerika) dan Crocodille (Amerika), serta kadang-kadang GT-Man (Indonesia). Untuk outside wear, terutama celana jeans saya memiliki merek favorit yaitu Lee Cooper (Inggris). Sedangkan baju kaos saya tidak punya preferensi merek tertentu, yang penting muat dengan tubuh besar saya. Tetapi untuk baju polo, tentu saja merek Polo (Inggris) atau Country Fiesta (Amerika) menjadi pilihan saya. Merek baju lain yang sering saya gunakan adalah baju pemberian dari sales-sales korporat yang memberi reward pada toko-toko seperti milik orang tua saya.

6. Selesai mandi dan berganti pakaian, saatnya makan dimana tidak ada merek khusus, kecuali untuk sendok dan garpu makan tanpa merek yang diproduksi oleh pengusaha di kampung halaman orang tua saya (Tulungagung: Indonesia). Yah, kalaupun mau dipaksakan, saya biasa makan tempe dan tahu yang berasal dari kedelai (mayoritas impor dari Amerika), telur (Indonesia), Indomie (Indonesia), atau nasi uduk (tetangga saya: Indonesia).

7. Selesai makan, saya memakai sepatu Converse (Amerika) atau Adidas (Amerika) sebagai rumah dari kaki saya yang berukuran 43 (US size)

8. Selesai urusan di rumah, saatnya pergi ke kampus. Sebelum memanaskan mobil Suzuki Forsa GLX 1989 (Jepang), saya memeriksa oli mesin apakah masih cukup atau tidak. Jika tidak oli mesin Eneos (Jepang) harus ditambahkan agar mobil saya tidak mogok. Belum lagi mengecek oli rem Prestone (Amerika). Kebetulan minggu kemarin saya baru saja ganti ban baru bermerek Goodyear (Amerika). Masuk mobil, bau pengharum Ambi Pur (Jerman) terasa semerbak. Mobil tua kesayangan saya ini pun memiliki tanda mata dari beberapa merek luar, ia pernah ditabrak oleh Toyota Pick Up (Jepang), Toyota Vios (Jepang), Mercedes Benz (Jerman), motor Honda (Jepang), dan beberapa pengemudi motor lain yang langsung tancap gas sebelum saya sempat melihat merek kendaraan mereka (Lho? Ga lihat plat nomornya?).

9. Perjalanan akan terasa membosankan tanpa musik, maka saya memutar stasiun radio Jak FM (Indonesia) dengan audio player bermerk Sony (Jepang). Karena Sony saya sudah tidak memiliki fungsi tape maupun CD, maka saya juga sering mendengarkan lagu lewat MP3 player hadiah dari Bank Danamon (Kepemilikan oleh Singapura) yang bermerek Samsung (Korea Selatan).

10. Di jalan raya, banyak mobil berseliweran dengan beragam merek yang tidak bisa saya sebutkan satu demi satu karena saking banyaknya (yang jelas semua luar negeri, selain Timor). Selain mobil pribadi, adapula mikrolet dengan Toyota Kijang (Jepang), ojek dengan Honda, Suzuki, mocin, dll (Jepang dan Cina), metromini dengan Nissan (Jepang), bis pariwisata dengan Mercedes Benz (Jerman), dan adapula mobil polisi Mazda RX8 (Jepang) atau Nissan Skyline (Jepang).

Setidaknya sampai pada aktivitas di pagi hari, boleh dibilang saya menggunakan 80% lebih merek dari luar negeri. Hmm... Saya jadi bingung, bagaimana saya bisa bilang cinta produk Indonesia ya? Atau memang belum ada produk lokal yang bermain? Yang jelas, saya lebih suka pakai Converse dibandingkan Spotec. Waduh!

Nantikan merek-merek di siang hingga malam hari pada edisi berikutnya.

Oh ya, sementara menunggu, bagaimana kehidupan Anda dengan merek-merek di pagi hari?