Sunday, January 27, 2008

Antara Vegas dan Jakarta

Las Vegas, apa yang ada di benak Anda saat mendengar nama itu? Bagi saya, Las Vegas berarti judi, kasino, glamour, elit, dan hedon. Mungkin jawaban Anda berbeda, tetapi saya yakin tidak berbeda jauh lah. Bagaimana bisa, kebanyakan dari kita yang belum pernah pergi ke pusat negara bagian Nevada tersebut bisa memiliki persepsi yang hampir seragam?

Vegas berhasil membagun citra diri kotanya dengan posisi yang unik dibandingkan dengan hampir kebanyakan kota-kota besar lain di dunia. Jika diizinkan saya mengistilahkannya dengan kasar, Vegas adalah kota maksiat. Secara halus, Vegas memiliki reputasi sebagai tempat bermain orang dewasa yang menarik. Imaji ini muncul tidak dalam waktu yang singkat, tetapi untuk membicarakan jauh ke belakang saya takut Anda bosan membacanya.

Mari kita mulai saja sejarah Vegas dari pertengahan 90-an, saat diresmikannya hotel-hotel mewah seperti MGM, Treasure Island, dan Excallibur. Di masa itu Vegas melakukan promosi kotanya dengan slogan “It’s Anything and Everything”. Singkat kata, dengan keinginan otoritas kota untuk meningkatkan persepsi Vegas sebagai kota tempat-orang-dewasa-punya-kegiatan, slogan tersebut dianggap kurang dapat mewakili dan memiliki diffrensiasi yang lemah. Setelah tragedi 9/11, Vegas merubah slogannya menjadi “What You Want, When You Want”. Tetapi pembaruan ini tidak memberikan peningkatan yang menggembirakan.

Vegas rupanya sangat serius dalam usaha menampilkan dirinya. Tim riset pemasaran digenjot, hasilnya muncul rekomendasi mengenai konsep positioningAdult Freedom – a place where you can do things you couldn’t or wouldn’t do at home”. Konsep ini kemudian dicoba untuk diejawantahkan dengan slogan “It’s Time for You”. Slogan ini muncul melihat hasil penelitian mengenai keinginan orang untuk rehat dan keinginan orang untuk diyakinkan bahwa mereka memang diperbolehkan untuk beristirahat, di Vegas tentunya. Penggunjung Vegas meningkat, tetapi mereka tidak cepat puas.

Kembali, dengan konsep payung Adult Freedom, Vegas mengeluarkan slogan pemasaran kedua mereka yang fenomenal, “What Happens Here, Stays Here” (WHHSH). Disini, mereka tidak hanya mengaktifkan tingkat persepsi pengunjung, melainkan sampai ke tingkat actual behavior. Las Vegas, secara nakal memberikan ‘izin’ kepada pengunjungnya untuk menikmati fasilitas rekreasi dewasa yang ditawarkan tanpa harus merasa bersalah. WHHSH juga merupakan slogan yang bersifat provokatif dan berusaha menantang konsumen untuk melewati batas-batas serta mendapatkan pengalaman baru. Wah! Bisakah Anda kaum Adam menahan godaan ini? Well, tidak hanya pria, bagaimana dengan wanita?

Pada tahun 2005 lalu Vegas mengeluarkan double slogan, WHHSH tetap dipertahankan dan ditemani oleh slogan lain, yaitu “Vegas Alibi”. Pengeluaran taktik terbaru ini adalah tindak lanjut dari kampaye WHHSH, dimana jika Anda sudah melakukan hal yang luar biasa di Vegas, apa yang akan Anda katakan pada orang-orang saat Anda di rumah. Komunikasi secara ‘niat’ oleh otoritas kota Las Vegas telah menjadikan kota tersebut mendapat tempat khusus di benak pelancong dalam dan luar negeri sebagai tempat berlibur yang ‘menantang’.

Bagaimana dengan Jakarta? Rumah kita semua ini. Menurut Anda, apa yang ada di benak pelancong luar negeri tentang Jakarta? Kalau saya yang ditanya, saya akan jawab macet, mal, dan Dufan. Tapi saya rasa persepsi saya itu tidak pantas ditawarkan pada calon turis. Lalu, apa sih yang identik dengan Jakarta yang membuat pelancong mau datang kesini? Hmm.. saya saja yang orang Jakarta bingung mau dibawa kemana ibukota ini.

Tanpa bermaksud merendahkan pekerjaan Pemprov DKI, seingat saya belum pernah ada komunikasi intensif resmi dari Pemda kepada costumer luar negerinya. Mungkin Pemda hanya meniru ‘Ayahnya’ (Pemerintah Pusat – Red) dalam mengelola potensi pariwisata dan branding Jakarta. Lihat saja promosi Visit Indonesia 2008, dipimpin Jero Wacik (Menpar), yang hingga akhir Januari masih berkutat mencari slogan yang tepat. Weleh weleh.. Kunjungi tahun 2008 kok tahun 2008 masih merencanakan?

Saya tidak ingin Jakarta menjadi Las Vegas, bisa dibakar kota ini oleh FPI dan FBR. Saya hanya berharap pemerintah bersama-sama dengan rakyatnya bersatu mewujudkan kota Jakarta yang dapat dijual kelebihannya kepada turis asing maupun domestik. Jakarta dapat mensejajarkan dirinya dengan kota besar lain di dunia, tentu saja dengan mengedepankan aspek keunikannya yang lain daripada yang lain.

Boleh urun rembuk? Jadikan positioning kota ini sebagai miniatur Indonesia. Jakarta sudah memiliki penduduk yang merepresentasikan penduduk Indonesia, tetapi kebudayaan beragam yang ada belum terlihat dengan baik. Misalkan di Jakarta ada wilayah Pecinan, lestarikan itu. Ada wilayah Arab, pertahankan. Lalu tentunya ada cagar budaya Betawi. Buat saja daerah-daerah kecil yang mewakili kebuadayaan utama di seluruh Indonesia, dari Merauke sampai Sabang. And then, dengan bangganya penduduk Jakarta memasarkan sang ibukota melalui slogan “Feel and Sense It All Here, The Real Beauty of Indonesia”. Tahap selanjutnya, Jakarta menjadi entry point yang tepat bagi turis yang ingin mengunjungi daerah-daerah lain di Indonesia. Wah! Ideal sekali ya? Makanya, pilih saya jadi gubernur.. eh, presiden saja deh!

Pendapat Anda?

Saturday, January 26, 2008

Smkoiing is Bad, But I Thnak You For Smkoiing (Kasus De Beers Co.)

Beberapa hari yang lalu, saya menghadiri pernikahan teman seangkatan saya. Ia dan suaminya mengenakan pakaian pengantin, berdiri di pelaminan menunggu ucapan selamat dari kerabat, dan diapit oleh dua keluarga yang menyatu sejak sang suami mengucapkan “saya bersedia” di hadapan penghulu. Tetapi pandangan saya tersita pada simbol yang menyatakan seseorang telah dapat menjalin kasih secara legal dan sah, cincin. Betapa lingkaran yang disematkan di jari manis tangan kiri ini telah menjadi variabel yang wajib hadir dalam upacara pernikahan ataupun (hanya) tunangan.

Kewajiban memiliki cincin ini dimanfaatkan oleh beberapa pihak untuk meraup keuntungan. Anda dapat bertanya kepada para perajin perak di Kasongan, Yogyakarta, yang hidup dari perhiasan duniawi ini. Lebih heboh lagi, Anda dapat melihat perusahaan berlian, De Beers Group, yang berdiri sejak 1888 dan menguasai 60% pasar berlian mentah di dunia.

Sejak 1948, De Beers menggunakan slogan “A Diamond is Forever” yang sangat terkenal, hingga James Bond pun tergiur untuk merasakan manisnya slogan ini dalam salah satu filmnya. Dengan kampanye ini, perusahaan berhasil mendapatkan pasar berlian senilai 25 juta dollar hanya di wilayah Amerika Serikat.

Di tahun 2001, De Beers menggunakan slogan “For your past, present, and future” dengan tujuan meningkatkan penjualan dari produk three-stone diamond rings mereka. Perusahaan mempromosikan produk ini sebagai hadiah yang tepat untuk perayaan anniversary. Harapan perusahaan, perilaku konsumen berubah menjadi repeated buyers dari sebelumnya hanya occasional buyers. Konsumen, dimana Anda diharapkan masuk di dalamnya, akan membeli three-stone diamond rings saat merayakan hari jadi tunangan mereka atau perayaan pernikahan platina, bukan hanya pada hari tunangan atau pernikahan.

The result, pada tahun 2002 penjualan cincin berlian De Beers di Amerika Serikat meningkat sebesar 74%.

Memasuki tahun 2003, De Beers melakukan kampanye iklan yang menyimbolkan kebutuhan dari tangan kiri dan kanan wanita. De Beers mengajak wanita untuk mulai memikirkan tangan kanan mereka. Alih-alih terpaku pada tangan kiri yang identik dengan cincin pertunangan atau pernikahan, De Beers ingin membuat tangan kanan wanita identik dengan cincin yang fashionable. Coba simak contoh iklan De Beers yang berbunyi “Your left hand says ‘we’, Your right hand says ‘me’”. Iklan ini kemudian diakhri oleh tagline “Women of the World, Raise Your Right Hand”. Sampai saat ini ada 16 jenis cincin ‘tangan kanan’ yang telah dikeluarkan oleh De Beers.

De Beers saya anggap pandai dalam membuat pasar baru. Dengan kampanye ini, akan ada pasar istri-istri, atau bahkan tidak tertutup kemungkinan para calon istri, yang akan membeli cincin fashionable tersebut, entah dari penghasilan pribadi atau rekening suami (pasangan) mereka. Sebagai manusia egois yang memafhumi tujuan pemasaran, saya angkat topi untuk tindakan perusahaan berlian ini.

Tetapi coba Anda tanya pendapat dari para feminis atau anti kapitalis dalam menanggapi pengkomoditian wanita ini. ‘Kelemahan’ wanita (lumrahnya) berupa keterpesonaan terhadap perhiasan membuat mereka menjadi korban dari konsumerise. Wah, bisa gregetan mereka!

Kita sering membeli produk-produk komoditas yang diberi nilai tambah berlebih sehingga tidak terasa kita sebenarnya membayar benar-benar-begitu-sangat-jauh-kelewat-mahal. Tidak mengapa jika sesekali saya dan Anda menyerah terhadap kelemahan-berupa-dorongan-menghabiskan-uang kita untuk menyeruput Frappucinno atau memakan Glazzy Donut. Masalahnya, apakah kelemahan saya dan Anda sering ‘dimanfaatkan’ saat membeli produk yang sebenarnya tidak akan membuat kita ‘hilang’ jika tidak menggunakannya? Apakah kita sudah terlalu sering tertipu nilai fana produk?

Sebagai konsumen, saya tidak mau tertipu oleh korporasi. Tetapi kalau saya berada di pihak korporasi, itu lain soal lagi. I’ll say, Thank You For Smoking!

nb: tulisan saya ini bukan pesan moral.

Kekuatan Bisik-Bisik (Kasus Iklan Bawah Sadar)

Good Day!

Sering saya membaca artikel-artikel tentang pentingnya nilai tambah dalam memasarkan produk, tetapi baru belakangan ini saya menghayatinya.

Dalam sebuah wawancara terhadap konsultan pemasaran Aqua, sang narasumber mengatakan kalau konsumen mengetahui harga produksi Aqua maka mereka akan terheran-heran. Ia tidak mengatakan nilai persisnya, tetapi sebagai ilustrasi beliau mengatakan jika konsumen rela mengeluarkan ongkos 100 demi produk berharga 10, maka 100 adalah harga yang akan dibayar konsumen. Coba anda bayangkan, berapa sih biaya yang anda butuhkan untuk menimba air 600ml di gunung? Yang jelas anda mengeluarkan Rp.1200-Rp2000 untuk mendapatkannya.

Pertanyaan yang penting adalah, bagaimana anda dapat memasarkan produk dengan harga berlipat-lipat dari biaya produksinya? Dengan begitu, tentu saja margin keuntungan anda akan semakin besar.

Dalam budaya bisik-bisik dan gosip, kita mengenal adanya urban legend. Hampir sama dengan legenda zaman dulu yang diceritakan dari generasi ke generasi, urban legend diceritakan secara berantai dari mulut ke mulut. Sejak ada internet, penyebaran urban legend menjadi sangat cepat dan mengglobal. Legenda modern ini kebanyakan bohong, tetapi ada juga urban legend yang separuh benar atau seluruhnya benar. Dalam pemasaran, urban legend tak jarang diceritakan oleh para pemasar untuk menawarkan produk dan jasa yang mereka jual. Tak jarang orang yang jatuh cinta pada romantisme cerita yang beredar. Apalagi kalau bentuknya cerita yang melegenda. Masih ingat tulisan sebelumnya mengenai cerita dongeng Starbucks yang yang me- repackage kopi Toraja sehingga membuatnya memiliki nilai ekonomis yang sangat tinggi?

Contoh lainnya dapat dilihat dalam urban legend tentang sublimal advertising. Pada 1957, Vance Packard menulis buku berjudul The Hidden Persuaders. Di buku itu, Packard menulis tentang variabel-variabel subliminal sebagai faktor penting untuk mendesain sebuah iklan. Buku ini hampir saja menjadi sumber inspirasi saya untuk membuat topik skripsi yang akhirnya saya batalkan.

Pada tahun 1970an, buku ini dijadikan pijakan oleh pengusaha sekaligus peneliti bernama James Vicary untuk melakukan survei di sebuah bioskop di New Jersey. Dalam pemutaran sebuah film, James menyelipkan pesan, "Minumlah Coca-Cola. Kalau lapar, makan saja popcorn". Pesan ini diselipkan dengan kecepatan 1/3000 detik. Ada yang pernah mendengar hoax research ini? Konon, hasil eksperimen ini mampu meningkatkan penjualan pop-corn hingga 57,8% dan Coca-Cola 18,1% di kantin bioskop itu. Riset ini menunjukan betapa hebatnya pengaruh sublimal adveritising atau iklan di bawah alam sadar. Begitu hebatnya cerita ini, hingga badan pengawas komunikasi di Amerika melarang iklan di bawah alam sadar pada 1974. Ternyata cerita ini bohong belaka. Ketika James Vicary disuruh mengulangi eksperimen yang sama, ia mengaku bahwa data eksperimennya dipalsukan.

Pada 1970, pernah juga beredar cerita bahwa sepatu Adidas adalah singkatan dari All Day I Dream About Sex. Sehingga remaja yang memakai sepatu itu dianggap memberi sinyal ajakan bercinta. Cerita ini tentu saja salah 100%. Yang benar, Adidas adalah singkatan dari Adi Dassler, penemu Adidas pada 1924.

Tapi ada juga urban legend yang benar. Misalnya cerita tentang pembalut wanita Kotex. Ketika berlangsung Perang Dunia I, Kimberly Clark berhasil membuat pembalut luka berbahan cellucotton. Bahan unik ini dapat menyerap cairan
lima kali lebih besar sehingga sempurna untuk dijadikan pembalut. Usai perang, Clark memasarkan produk ini sebagai pembalut wanita dengan merek Kotex yang merupakan singkatan dari cotton textile.

Kembali ke kasus Aqua. Apakah anda membelinya karena tertarik dengan dongengnya mengenai air murni dari pegunungan? Apakah “saking” murninya sehingga anda merasa akan sehat dan aman dalam mengkonsumsinya? Atau apakah dengan meminum Aqua anda merasa sebagai konsumen yang memperhatikan kesehatan anda? Fenomena urban legend menunjukkan dahsyatnya pengaruh sebuah cerita yang berubah menjadi legenda. Dengan cerita yang pas, anda bisa memukau dan terpukau olehnya.


Momentum (CNN hidup dari John Lennon)

John Lennon adalah artis yang memiliki pengaruh yang besar pada masanya dan bahkan hingga kini. Ia tidak hanya menginspirasi para penggubah lagu, tetapi juga membuat Amerika Serikat ketar-ketir dengan kampanye anti perangnya, sehingga membuat CIA mengutus Mark Whitman untuk menembak mati Lennon saat keluar di depan apartemennya di New York pada tanggal 8 Desember 1980.

Ternyata setelah Lennon meninggalpun ia tetap dapat menginspirasi serta memberikan keuntungan bagi banyak pihak.

Konon, sukses stasiun TV CNN hingga saat ini adalah berkat ‘keahliannya’ memanfaatkan John Lennon. CNN adalah buah karya enterpreneur Ted Turner yang merupakan stasiun TV berita pertama yang menyiarkan program 24 jam nonstop. Ketika pertama kali mengudara, konsep CNN sukar diterima oleh para pemirsa. Bujet mereka sangat terbatas. Ditambah mereka harus membiayai delapan kantor perwakilan untuk memproduksi cukup berita. Enam bulan pertama, CNN hidup kembang kempis. Mereka juga belum memiliki selebriti TV yang terkenal sehingga CNN hampir tidak dikenal konsumen saat itu. Akhirnya momentum yang ditunggu tiba juga.

Saat John Lennon secara tragis ditembak hingga wafat. Sekonyong-konyong 1,7 juta keluarga Amerika yang memiliki akses terhadap CNN saat itu, percaya atau tidak, secara antusias lalu menonton CNN. Mereka langsung merasakan bedanya. TV nasional yang besar-besar saat itu hanya terbatas menyiarkan berita, baik waktu tayangnya dan juga isinya. Sebaliknya, CNN menyajikannya dengan up to date terus-menerus dari jam ke jam. Penonton ketagihan menonton CNN. Dengan CNN kita seolah berpatisipasi langsung dengan sejarah.

Selanjutnya, ketika Perang Teluk pecah empat tahun kemudian, setidaknya hampir 12 juta pemirsa rajin mengikuti perkembangan perang lewat CNN. Kini CNN minimal ditonton oleh lebih dari 80 juta keluarga di seluruh dunia.

Contoh yang sama ‘plek’ dengan CNN dan dapat kita amati adalah Metro TV.

Metro TV muncul sebagai media dengan konsep berita 24 jam nonstop, sama seperti CNN. Dengan tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang masih rendah, apakah yang Metro TV harapkan saat pertama melakukan siaran? Rating yang tinggi? Sulit tentunya.

Tetapi Surya Paloh rupanya dinaungi dewi Fortuna dalam mengelola Metro TV. Tahun 2001, Gus Dur jatuh dari kursi kepresidenan. Kejadian saat ia keluar Istana Negara hanya dengan menggunakan celana pendek dan melambai disaksikan live oleh pemirsa. Detik-detik pengiriman pasukan berani mati dari Jawa Timur beserta pelatihan perangnya menjadi tontonan seru saat itu. Tentu ada pula momen ‘keberuntungan’ Metro TV lainnya, seperti aksi terorisme bom Bali atau Mariott.

Serta momen yang tidak dapat dilupakan yaitu saat terjadi tsunami Aceh pada 2004. Masih lekat di benak saya tangisan Najwa Shihab saat melaporkan langsung dari Banda Aceh. Apakah anda salah satu pemirsa yang setia mengikuti breaking news Metro TV saat itu seperti saya? Sebagai hasilnya, saat ini siapa tidak kenal Metro TV? Atau Najwa Shihab?

Pelajaran pemasaran yang dapat kita petik dari kasus CNN dan Metro TV adalah pentingnya memanfaatkan momentum.

Momentum dalam pemasaran adalah salah satu strategi kunci. Menurut Sun Tzu, jenderal perang Cina yang terkenal, momentum terdiri dari 2 elemen penting. Pertama adalah waktu yang pas dan yang kedua adalah kontrol. Sun Tzu mengambil contoh populer yaitu katepel. Untuk sukses mengkatepel sesuatu, harus didasarkan kapan melepas peluru (waktu) dan sekuat apa menarik karet katepel (kontrol). Kerikil kecil kalau dilontarkan dengan kecepatan tinggi dan diarahkan ke bagian vital akan mampu membunuh musuh.

Momentum jelas merupakan senjata rahasia untuk memanen peluang. Barangkali kita perlu belajar dari pedagang asongan yang jago memanfaatkan momentum. Hari-hari biasa mereka hanya berdagang di perempatan jalan yang padat lalu lintasnya. Namun mereka cerdas memanfaatkan momentum. Jalan tol macet, mereka langsung pindah berdagang di ruas jalan tol. Lain lagi kalau banyak demonstrasi, mereka juga ikut berdagang dekat kerumunan demonstrasi. Pokoknya mereka selalu siap siaga. Di mana momentumnya memungkinkan mereka akan nyelip.

Tapi belajar dari pengendara motor yang menggunakan momentum tidak menggunakan helm saat tidak ada polisi perlu disaluti tidak ya? Itu terserah anda untuk menggunakan momentum secara bijak dan bertanggungjawab.

Tribute to 27th Anniversary of John Lennon death


Potensi Indonesia (Pelajaran dari Jepang dan Korea)

Akhir-akhir ini ketika saya melihat penjual-penjual barang haram (mungkin hanya distributor dan pemegang lisensi yang berpikir seperti ini) berupa DVD bajakan, jejeran tumpukan drama seri selalu didominasi oleh drama seri Korea Selatan dan beberapa dari Jepang. Banyak teman-teman yang saya kenal membeli dan melihat drama-drama seri dari dua negeri Asia yang pada tahun 2002 berhasil menyelenggarakan perhelatan besar Piala Dunia. Pembeli film ini juga tidak terbatas dari kalangan sosial tertentu. Kalian dapat menemukan kounter-kounter yang menjual film drama Korea dan Jepang mulai dari Tarra Megastore hingga ‘penampungan Glodok’, mulai dari yang asli berbanderol diatas Rp. 25.000 hingga murah meriah seharga Rp. 6.000. Baru-baru ini, seorang bintang Korea datang ke Jakarta untuk menyapa fansnya di Balai Sarbini. Di radio, lagu L’arc~en Ciel di-request oleh banyak pendengarnya. Muncul band-band beraliran J-Rock, dan juga band yang menggunakan nama genre ‘J-Rock’ itu sendiri. Serta jangan dilupakan komik dan kartun Jepang yang ada di rak buku (atau terserak?) kalian. Kata-kata seperti manga atau anime, bahkan hingga hentai banyak yang sudah melekat dalam perbendaharaan kata remaja masa kini.

Sekitar satu tahun yang lalu, pacar saya dan seorang teman mendapat kesempatan untuk pergi ke Jepang dan Korea selama hampir satu bulan penuh. Cerita yang mereka bawa kembali kesini mempunyai satu benang merah, yang menurut saya menjadi kunci sukses negara masing-masing. Penduduk masing-masing negera tersebut bangga dan mau mengenakan kultur mereka sebagai identitas pribadi dan kelompok. Bukan hanya untuk diri mereka sendiri, belakangan dengan semangat pemasaran kultur yang kuat, mereka mengekspansi lifestyle mereka. Sebagai catatan, riset di Korea Selatan mencoba melihat invasi kultur di dunia, kultur barat tetap menempati nomor satu dengan raihan 50%. Tetapi kultur Jepang mengalami kenaikan drastis dalam urusan ‘mengekspor’ kultur mereka, dan menempati posisi kedua dengan capaian 30%,. Sedangkan Korea Selatan, dengan konsep Hallyu-Wood-nya memperoleh 2%.

Kalau kita mau cermati, kebudayaan Jepang dan Korea sebenarnya secara kuantitas ada di bawah Indonesia. Jika dibandingkan, kita punya beragam kultur yang ada hampir di setiap jengkal negara kita. Sebagai contoh, pakaian tradisional Jepang dan Korea hanya satu, yaitu kimono dan hanbok. Pakaian tradisional Indonesia? Banyak sekali! Belum lagi kalau kita mau melihat sisi-sisi kultur lainnya, seperti bahasa, kerajinan, adat-istiadat, hingga musik. Dapat dipastikan kalau Indonesia punya itu semua, melimpah pula!

Di Indonesia, kita memiliki sejumlah produk unggulan, baik yang tradisional maupun kontemporer. Namun nilai keunggulannya masih sangat kecil secara ekonomis, karena belum ada sebuah situasi ideal untuk meningkatkan nilai apresiasinya. Tempe, misalnya, jelas merupakan produk ciptaan Indonesia. Di Indonesia sendiri, nilai apresiasinya sangat rendah. Padahal, nilai ekonomisnya tinggi sekali. Sebagai sumber protein, di samping murah, jauh lebih sehat dibandingkan dengan sumber protein yang lain. Celakanya, di Indonesia, tempe dianggap rendahan dan murahan. Lain dengan di luar negeri (misalkan Amerika), packaging tempe sudah dibuat dengan baik. Bentuknya juga sangat higienis. Hal ini mengingatkan saya akan oleh-oleh yang dibawakan oleh pacar saya. Dari Jepang dia memberikan biskuit dan roti khas Jepang, jumlahnya tidak banyak, tetapi harganya sangatlah mahal. Kalian tahu kenapa? Packaging-nya sangat cantik dan indah, bahkan kertas pembungkusnya kini saya simpan, siapa tahu bisa digunakan sebagai pembungkus kado di lain hari.

Kembali ke tempe. Dalam hati saya berpikir, kalau tempe bisa populer begitu di luar negeri dan mendapatkan apresiasi yang tinggi sehingga menjadi produk unggulan, masak sih kita tidak bisa melakukan hal yang sama? Kenapa kita tidak melakukan survei di luar negeri untuk mengetahui proses mengapa tempe bisa begitu populer? Lalu kita jiplak dan kita sesuaikan agar tempe bisa juga populer dan mendapat apresiasi yang begitu dahsyat di kalangan dalam negeri. Sekalian apabila tempe sudah populer, kenapa tak kita gunakan tempe untuk menjadi salah satu daya tarik kuliner Indonesia. Sehingga tempe bisa memberikan nilai tinggi dalam promosi turisme Indonesia di luar negeri. Situasi yang ideal bukan?

Starbucks, produsen kopi dunia, secara berkala menghadirkan serial kopi esklusif Black Apron. Kopi ini biasanya jumlahnya sangat terbatas dan sangat eksklusif. Jumlahnya terbatas dan harganya sangat mahal. Satu bungkus 226 gram dijual rata-rata di atas US$ 12. Satu kilo harganya bisa mencapai US$ 50. Gila! Khusus edisi Juli 2006, Starbucks mengeluarkan edisi Black Apron yang diberi sebutan Kopi Kampung. Kalian bisa tebak asal kopi ini? Tiada lain adalah Indonesia!

Didalam leaflet Kopi Kampung diceritakan dan didongengkan bahwa Starbucks sejak pertama kali beroperasi, 35 tahun lalu, sudah mengagumi kopi dari Sulawesi. Menurut mereka, kopi Toraja, atau kopi Sulawesi, memiliki signature taste atau cita rasa istimewa yang sangat kompleks seperti rempah-rempah, smooth atau halus sekali dan sekaligus elegan. Membaca ini, saya ikut terharu, karena di luar negeri kopi kita memang dianggap emas.

Untuk edisi Black Apron, perusahaan dari Seattle ini akhirnya melakukan sebuah ekspedisi menyusuri satu kampung demi satu kampung untuk menemukan sebuah cita rasa klasik yang masih murni. Starbucks mengaku, banyak kopi Toraja yang kini sudah bercampur aduk dengan berbagai kopi sehingga rasanya tidak lagi asli. Akhirnya ekspedisi mereka sampai ke sebuah kota kecil di Sapan dan Minanga di Sulawesi Utara. Mereka menemukan proses kopi yang ideal. Yaitu, biji-biji kopi yang masak dipetik langsung dari pohon, lalu dipilih kualitasnya, dan dijual di pasar hanya sehari setelah dipanen. Starbucks menganggap proses ini ideal sekali. Karena cita rasa kopi yang dihasilkan secara murni menerjemahkan cita rasa klasik kopi Toraja yang sejati. Akhirnya, kopi inilah yang mereka jadikan kopi limited edition edisi Black Apron dengan nama khusus Kopi Kampung.

Sebagai produk unggulan, konon Indonesia memiliki minimal tiga kopi jawara kelas dunia, dari 10 kopi terbaik di dunia. Ketiga kopi itu adalah Java Mocha, Sumatera Mandheling, dan Toraja Kalosi. Ironis kalau kita berbicara dengan kebanyakan petani kopi di berbagai daerah. Mereka mengeluhkan harga kopi yang rendah dan kompetisi yang mematikan dari Vietnam.

Dengan fakta-fakta ini, mestinya kita bangga dengan potensi produk unggulan Indonesia. Dengan bahasa sederhana, Tuhan Yang Maha Esa sangat pemurah dan baik hati melimpahkan kita kekayaan alam dengan potensi yang sangat luar biasa. Lalu, di mana kurangnya? Saya hanya bisa menemukan satu jawaban. Imajinasi! Kita perlu merangsang pemikiran yang lebih imajinatif. Siapa sangka ada kebudayaan dari timur yang mulai ‘menggerogoti kue’ kultur barat. Dengan mengekspor film drama, kartun, dan komik, kultur Jepang dan Korea disambut dengan ‘meriah’ di Indonesia.

Godfather negeri Perancis, Napoleon Bonaparte, berpesan, "The human race is governed by its imagination." Artinya, nasib kita memang ditentukan oleh imajinasi kita. Nasib bangsa ini juga ditentukan oleh seorang pemimpin yang imajinatif. Seorang pemimpin yang secara imajinatif bisa menciptakan benang merah antara potensi alam yang berlimpah dengan potensi sumber daya manusia negeri ini. Benang merah inilah yang akan menjadi cikal bakal produk unggulan Indonesia yang kita dambakan. Semakin tinggi imajinasi pemimpin kita, semakin jaya pula negeri dan republik ini. Start imaginating!