Las Vegas, apa yang ada di benak Anda saat mendengar nama itu? Bagi saya, Las Vegas berarti judi, kasino, glamour, elit, dan hedon. Mungkin jawaban Anda berbeda, tetapi saya yakin tidak berbeda jauh lah. Bagaimana bisa, kebanyakan dari kita yang belum pernah pergi ke pusat negara bagian Nevada tersebut bisa memiliki persepsi yang hampir seragam?
Vegas berhasil membagun citra diri kotanya dengan posisi yang unik dibandingkan dengan hampir kebanyakan kota-kota besar lain di dunia. Jika diizinkan saya mengistilahkannya dengan kasar, Vegas adalah kota maksiat. Secara halus, Vegas memiliki reputasi sebagai tempat bermain orang dewasa yang menarik. Imaji ini muncul tidak dalam waktu yang singkat, tetapi untuk membicarakan jauh ke belakang saya takut Anda bosan membacanya.
Mari kita mulai saja sejarah Vegas dari pertengahan 90-an, saat diresmikannya hotel-hotel mewah seperti MGM, Treasure Island, dan Excallibur. Di masa itu Vegas melakukan promosi kotanya dengan slogan “It’s Anything and Everything”. Singkat kata, dengan keinginan otoritas kota untuk meningkatkan persepsi Vegas sebagai kota tempat-orang-dewasa-punya-kegiatan, slogan tersebut dianggap kurang dapat mewakili dan memiliki diffrensiasi yang lemah. Setelah tragedi 9/11, Vegas merubah slogannya menjadi “What You Want, When You Want”. Tetapi pembaruan ini tidak memberikan peningkatan yang menggembirakan.
Vegas rupanya sangat serius dalam usaha menampilkan dirinya. Tim riset pemasaran digenjot, hasilnya muncul rekomendasi mengenai konsep positioning “Adult Freedom – a place where you can do things you couldn’t or wouldn’t do at home”. Konsep ini kemudian dicoba untuk diejawantahkan dengan slogan “It’s Time for You”. Slogan ini muncul melihat hasil penelitian mengenai keinginan orang untuk rehat dan keinginan orang untuk diyakinkan bahwa mereka memang diperbolehkan untuk beristirahat, di Vegas tentunya. Penggunjung Vegas meningkat, tetapi mereka tidak cepat puas.
Kembali, dengan konsep payung Adult Freedom, Vegas mengeluarkan slogan pemasaran kedua mereka yang fenomenal, “What Happens Here, Stays Here” (WHHSH). Disini, mereka tidak hanya mengaktifkan tingkat persepsi pengunjung, melainkan sampai ke tingkat actual behavior. Las Vegas, secara nakal memberikan ‘izin’ kepada pengunjungnya untuk menikmati fasilitas rekreasi dewasa yang ditawarkan tanpa harus merasa bersalah. WHHSH juga merupakan slogan yang bersifat provokatif dan berusaha menantang konsumen untuk melewati batas-batas serta mendapatkan pengalaman baru. Wah! Bisakah Anda kaum Adam menahan godaan ini? Well, tidak hanya pria, bagaimana dengan wanita?
Pada tahun 2005 lalu Vegas mengeluarkan double slogan, WHHSH tetap dipertahankan dan ditemani oleh slogan lain, yaitu “Vegas Alibi”. Pengeluaran taktik terbaru ini adalah tindak lanjut dari kampaye WHHSH, dimana jika Anda sudah melakukan hal yang luar biasa di Vegas, apa yang akan Anda katakan pada orang-orang saat Anda di rumah. Komunikasi secara ‘niat’ oleh otoritas kota Las Vegas telah menjadikan kota tersebut mendapat tempat khusus di benak pelancong dalam dan luar negeri sebagai tempat berlibur yang ‘menantang’.
Bagaimana dengan Jakarta? Rumah kita semua ini. Menurut Anda, apa yang ada di benak pelancong luar negeri tentang Jakarta? Kalau saya yang ditanya, saya akan jawab macet, mal, dan Dufan. Tapi saya rasa persepsi saya itu tidak pantas ditawarkan pada calon turis. Lalu, apa sih yang identik dengan Jakarta yang membuat pelancong mau datang kesini? Hmm.. saya saja yang orang Jakarta bingung mau dibawa kemana ibukota ini.
Tanpa bermaksud merendahkan pekerjaan Pemprov DKI, seingat saya belum pernah ada komunikasi intensif resmi dari Pemda kepada costumer luar negerinya. Mungkin Pemda hanya meniru ‘Ayahnya’ (Pemerintah Pusat – Red) dalam mengelola potensi pariwisata dan branding Jakarta. Lihat saja promosi Visit Indonesia 2008, dipimpin Jero Wacik (Menpar), yang hingga akhir Januari masih berkutat mencari slogan yang tepat. Weleh weleh.. Kunjungi tahun 2008 kok tahun 2008 masih merencanakan?
Saya tidak ingin Jakarta menjadi Las Vegas, bisa dibakar kota ini oleh FPI dan FBR. Saya hanya berharap pemerintah bersama-sama dengan rakyatnya bersatu mewujudkan kota Jakarta yang dapat dijual kelebihannya kepada turis asing maupun domestik. Jakarta dapat mensejajarkan dirinya dengan kota besar lain di dunia, tentu saja dengan mengedepankan aspek keunikannya yang lain daripada yang lain.
Boleh urun rembuk? Jadikan positioning kota ini sebagai miniatur Indonesia. Jakarta sudah memiliki penduduk yang merepresentasikan penduduk Indonesia, tetapi kebudayaan beragam yang ada belum terlihat dengan baik. Misalkan di Jakarta ada wilayah Pecinan, lestarikan itu. Ada wilayah Arab, pertahankan. Lalu tentunya ada cagar budaya Betawi. Buat saja daerah-daerah kecil yang mewakili kebuadayaan utama di seluruh Indonesia, dari Merauke sampai Sabang. And then, dengan bangganya penduduk Jakarta memasarkan sang ibukota melalui slogan “Feel and Sense It All Here, The Real Beauty of Indonesia”. Tahap selanjutnya, Jakarta menjadi entry point yang tepat bagi turis yang ingin mengunjungi daerah-daerah lain di Indonesia. Wah! Ideal sekali ya? Makanya, pilih saya jadi gubernur.. eh, presiden saja deh!