Thursday, February 28, 2008

Over-Varied (Lesson From Disney)

Anda pernah lihat gambar Mickey Mouse atau Donald Duck yang banyak dilukiskan di tempat yang tidak semestinya? Maksud saya di gerobak es krim keliling atau wahana odong-odong yang rutin mengajak anak-anak memutari komplek di saat sore hari? Penggunaan karakter-karakter itu di Indonesia, meski tanpa izin, mungkin tidak akan berpengaruh bagi penjualan merchandise Disney. Tetapi lain lagi ceritanya ketika kejadian ini terjadi di Amerika Serikat (AS) tempat Disney menggantungkan harapan penjualan mereka.

Alkisah pada tahun 1980-an, Disney berniat untuk melakukan ekspansi merek mereka ke seluruh dunia, termasuk AS didalamnya. Kegiatan ini berlangsung secara legal dan memiliki lisensi dari Disney. Dikomunikasikanlah karakter-karakter mereka, dari Paman Gober dan keluarga hingga tokoh Pluto, anjing Mickey, yang baru lahir saat itu. Promosi karakter mereka lancarkan melalui bermacam media, dari produk merchandise, iklan TV, hingga yang cukup tidak nyambung seperti lemari es atau microwave.

Pada akhir dekade 80, Disney mulai menyadari bahwa karakter-karakter mereka, terutama Mickey dan Donald telah banyak muncul bukan pada tempat yang semestinya sehingga dianggap overexposed. Hal ini menyebabkan mereka mengadakan brand audit untuk mengetahui pandangan masyarakat terhadap merek Disney secara menyeluruh. Hasilnya mengejutkan pihak Disney dimana muncul potensi masalah yang cukup serius apabila tidak segera ditangani. Produk Disney yang terlalu banyak menyebabkan konsumen bingung menilai brand Disney, muncul persepsi-persepsi masyarakat yang tidak sejalan dengan tujuan perusahaan. Muncul anggapan Disney adalah produsen perkakas rumah, yang tentunya tidak berhubungan dengan dunia hiburan yang selama ini Disney coba tawarkan. Konsumen juga memiliki anggapan bahwa Disney terlalu mengkomersilkan karakter-karakter mereka yang sudah terkenal. Potensi masalah terbesar adalah menjauhnya persepsi merek Disney dengan dunia anak, dimana anak tidak lagi memiliki keterlibatan untuk memutuskan membeli produk-produk ‘dewasa’ tersebut.

Kini, di Indonesia muncul fenomena artis yang diekspos dengan berlebih untuk mendapatkan kesempatan meraih materi disaat masa ‘laku’ mereka. Melakukan sinetron kejar tayang di beberapa stasiun televisi sehingga muncul kredo ‘dia lagi, dia lagi’. Tidak hanya di sinetron, mereka juga banyak yang menyebrang untuk beradu akting di layar lebar. Belum lagi yang mencoba peruntungan di dunia tarik suara. Hasilnya muncul fenomena cepat mekar cepat pula layunya, sederhana saja, karena konsumen bosan.

Ringgo Agus Rahman, adalah salah satu artis yang saya soroti belakangan ini. Setelah sukses memperkenalkan dirinya dalam film Jomblo, Ringgo hadir di layar kaca dengan frekuensi yang tinggi, terlihat dari banyaknya acara yang ia pandu sendiri, setidaknya di 3 stasiun TV (RCTI, AnTV, dan MTV Indonesia). Belum lagi beberapa film layar yang ia bintangi, sinetron, gosip hubungan asmaranya, dan muncul sebagai endorser produk Esia. Ringgo menawarkan kepada konsumen pada penampilan perdananya di Jomblo mimik berbicaranya yang lucu. Satu-satunya keunikan diri yang Ringgo berikan dalam seluruh acaranya, hal ini membuat, setidaknya saya, bosan. Bayangkan jika Anda melihat Oprah Winfrey memiliki 3 talkshow yang memiliki konten yang sama, apakah Anda akan tetap antusias melihat Oprah? Saya melihat Ringgo sebaiknya fokus ke aktivitasnya di layar lebar, karena keunikan mimik lucunya sangat tergali dengan baik. Berbeda dengan layar lebar, dalam reality show yang ia bawakan, terlihat Ringgo kurang dapat membawa suasana menjadi menyenangkan.

Pada kisah Disney, perusahaan kemudian mengambil langkah drastis dengan menghilangkan produk-produk yang tidak ‘berbau’ Disney. Mereka kembali fokus untuk berdekatan dengan dunia hiburan keluarga dengan tidak mengkomersilkan karakter-karakter mereka yang sudah dianggap sebagai simbol dunia anak dengan tidak membuat produk yang dianggap ‘dewasa’. Disney mendapatkan pelajaran berharga bahwa Disney was Disney, dan konsumen mereka ingin Disney tetap seperti itu. Konsumen ingin tertawa bersama Mickey, Mini, dan Pluto dalam film kartun. Konsumen ingin melihat Donald Duck di taman hiburan dan produk anak. Saat ini meskipun Disney tetap diekspos dengan luar biasa, tetapi karena ia konsisten bertahan pada jalur ‘fun family entertainment’, konsumen tidak akan protes, karena Disney was (is still) Disney.

Para artis atau produk atau Anda yang ingin mengkomersilkan diri sendiri sebaiknya mulai memilih jalan bagaimana Anda ingin diingat. Sebagai seorang pemain film layar lebar, sinetron, atau penyanyi? Sebagai produk anak-anak atau dewasa? Sebagai seorang akademisi, oportunis, pemimpin, orator, atau perampok? Yang jelas, harus ada konsistensi dari diri Anda. Belajar dari brand yang sukses seperti Disney dengan memfokuskan pada dunia hiburan keluarga dan anak-anak dapat berguna bagi kelangsungan brand Anda. Jika Anda telah memasuki quarter life crisis, sebaiknya segera putuskan kemana Anda ingin melangkah.

No comments: