Seorang teman yang baru saja pulang dari liburannya di Australia bertutur mengenai keluh kesah dua keluarga imigran asal Indonesia yang sudah lama menetap sejak tahun 1970an. Melalui sudut pandang media negeri wombat, mereka merasa sangat miris melihat kondisi Indonesia saat ini. Korupsi menggila, bencana alam, terorisme, dan acuan negatif lain adalah berita yang mereka terima tiap hari. Terkesiap diri saya mendengar persepsi itu, seketika pula saya membela diri dengan mengatakan mereka itu tahu apa, wong sudah lama tidak disini kok sok tahu.
Tak butuh waktu lama, saya menyadarkan diri dan mencoba melihat kenyataan. Jika anak Indonesia sendiri sudah berpikir seperti itu, bagaimana dengan penduduk asli The Soccerros? Apa dampaknya terhadap Indonesia?
Alkisah pada tahun 1999 negeri ini masih dikunjungi sekitar 5 juta wisatawan atau sekitar 14% dari total wisatawan di kawasan ASEAN, dimana Thailand mendominasi dengan 26% dibuntuti Malaysia 24% dan Singapura 21%. Tahun 2006 kunjungan wisatawan stagnan jika tidak mau dibilang menurun dengan 4,8 juta atau meyisakan kontribusi dengan 8,6%, tertinggal jauh dengan peningkatan wisatawan Malaysia yang dikun jungi 17,5 juta orang atau sekitar 31%.
Setidaknya persepsi buruk mengenai Indonesia menggerogoti dunia pariwisata seperti terlihat pada data sebelumnya. Dalam dunia pemasaran modern, proses branding (baca: pencitraan) menjadi hal yang sangat diperhatikan untuk pengembangan produk. Sebalnya saya, pemerintah terkesan tidak melakukan kegiatan nation (destination) branding yang serius terhadap bangsa ini. Padahal seseorang yang ingin menjadi presiden atau gubernur saat ini sadar betul mengenai pentingnya branding diri dengan mengeluarkan biaya milyaran rupiah.
Thailand dengan slogan Amazing Thailand, Singapura dengan Uniquely Singapore, dan Malaysia melalui Truly Asia-nya merupakan representasi dari pemasaran modern. Indonesia tetap keukeuh dengan Visit Indonesia Year 2008 yang sama persis dengan slogan pariwisata masa Orde Baru, Anda lupa? Saya ingatkan kembali, Visit Indonesia Year 1991.
Perlu ada pembenahan radikal pada cara pemasaran dan pembuatan citra Indonesia kepada masyarakat luar. Pertama, perlu perubahan pada pembuat kebijakan pariwisata Indonesia. Jangan lagi ada kasus telatnya pencarian slogan pariwisata tahun 2008 yang masih dilakukan pada bulan Februari 2008, dimana akhirnya hanya ditambahkan Celebrating 100 Years Nation Awakening. Saya tidak habis pikir, apakah wisatawan asing peduli dengan Boedi Oetomo? Apakah kita ingin menawarkan wisata Kebangkitan Nasional? Tidak! Jadi, apa relevansinya?
Kedua, perlu pengenalan terhadap kelebihan dan perbedaan Indonesia dengan bangsa lainnya. Harus ada produk berbeda dan punya kualitas yang dijual. Jangan hanya memperlihatkan hamparan sawah dan gunung tanpa makna di iklan wisata, perlu ada penekanan yang lebih dalam. Contoh, pulau Kalimantan yang termasuk kawasan hutan tropis terbesar di dunia sekaligus pulau terbesar di dunia adalah difrensiasi yang tidak dimiliki oleh negara manapun. Biota laut di kawasan Indonesia menyimpan hampir 70% dari seluruh spesies laut di dunia, dimana lagi wisatawan dapat mendapatkan itu semua selain di sekitar selat Sulawesi dan Maluku. Jepang punya Kimono, Indonesia punya batik yang sudah di endorse secara sukarela oleh tokoh internasional sekaliber Nelson Mandela.
Ketiga, segala hal yang besar selalu dimulai dari yang kecil. Tidak perlu pemerintah terburu-buru memaksa membuka rute penerbangan antara Moskow dan Jakarta untuk menjaring wisatawan. Daripada nanti buang-buang uang untuk mengisi seat kosong pesawat demi menjaga gengsi adanya rute tersebut, masih banyak lho potensi turis dari negeri tetangga yang belum terjamah secara maksimal, seperti Malaysia, Singapura, dan Australia. Sudah rahasia umum jika turis Indonesia lumrah ditemui dan saling bertegur sapa saat berbelanja di Orchad Road atau antri naik ke Petronas Tower, negara tetangga bisa mengundang turis lokal kita kesana, kenapa kita tidak. Disilaukan oleh semut diseberang, pesawat Airbus 308 di pelupuk mata kok tidak terlihat.
Keempat, warga negara Indonesia yang berdiaspora dengan menetap atau bekerja di negara asing harus tetap diperhatikan dan diberikan edukasi mengenai pentingnya peran mereka dalam membuat persepsi positif Indonesia di mata warga asing. Gimana mau orang Aussy punya citra positif, kalau warga Indonesia yang disana mikir Indonesia semakin hancur dari hari ke hari. Pencitraan melalui community development adalah cara terkini yang terbukti ampuh dalam pemasaran produk di dunia yang semakin sesak informasi dan ter-clustered.
Terakhir, bagaimanapun masyarakat berusaha pemerintah tetap memegang peran utama untuk mewujudkan brand promise bagi turis asing yang sudah datang kesini. Dengan menggembar-gemborkan Indonesia sebagai negara tujuan wisata, turis harus diberikan servis maksimal dengan standar internasional. Paling tidak nih untuk pembuat kebijakan di atas sana, toilet di Soekarno Hatta dibersihkan dulu ya bos! Tidak mudah memang, tapi bisa. Brand promise terpenuhi, baru kita pede untuk bilang Indonesia, The Real Amazing, Uniquely, and Truly Asia!